Pada tanggal 24 Mei 2003 saya di tangkap dan menjadi tahanan politik. Saya diganjar 6 tahun 8 bulan penjara dengan tuduhan terhadap saya melawan pemerintah dan menyebar kebencian kepada pemerintah Indonesia (Makar). Dan waktu Itu adalah konsekwensi terhadap saya dalam memperjuangkan hak-hal rakyat Aceh yang di rampas oleh Neagra.
Waktu itu saya bergabung di berbagai buffet aksi diantaranya FARMEDIA, PERAK, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan Himpunan Aktivis Antimiliter (HANTAM).
Selaku mahasiswa sejak kuliah hingga ditangkap dengan segala siksaan adalah pilihan atas nilai keadilan dan kemanusian.
Tak pernah menyesal dapat berbuat baik atas segala konsekuensi waktu konflik. Padahal bisa saja saya ketika itu sebagai mahasiswa fokus belajar tanpa peduli atas ketidakdilan yang terjadi sekitar kita, apalagi kedua orang tua saya adalah PNS.
Tapi panggilan kemanusian dan keadilan menggelora, maka saban minggu selalu ikut demontrasi menuntut keadilan. Malah kendaraan dan handphone saya menjadi “alat” komunikasi aktivis lainnya.
Setelah proses sidang selesai, sehari-hari saya habiskan waktu di penjara Keudah Kota Banda Aceh. Dengan membaca, menulis, diskusi dan olahraga. Setiap sore ada dua perempuan “Hebat” selalu mengantar nasi.
Kedua perempuan “Hebat” itu saling pergi berbarengan untuk mengantar makanan ke Penjara Keudah. Nama perempuan itu adalah Dek Hur, adik kandung saya, dan Kak Dar, istrinya Pak Irwandi. Tak pernah absen mereka berdua mengunjungi kami dengan masakannya yang berbeda-beda.
26 Desember 2004
Setelah sidang dipengadilan Banda Aceh saya di Vonis 6 Tahun 8 Bulan penjara, kemudian saya mangajukan banding dan kasasi. Dan itu semua sangat siap saya lalui demi perjuangan keadilan bagi rakyat Aceh . Orang tua di kampung juga terus memberi dukungan melalui adik kandung saya “Perempuan Hebat”.
Minggu 26 Desember 2004, tsunami datang, tembok penjara berhamburan diterjang air, semua bergerak, bertakbir, membaca nama Allah. Dalam seketika penghuni penjara diterjang air. Saya melihat Bang Wandi naik ke atas. Beliau memanggil saya dan tahanan yang lain “Ka euk laju u ateuh, nyoe ie tsunami” katanya. Bagi saya ini tanda kiamat. Tak lain!
Saya berusaha melihat, meminta yang lain juga untuk naik ke atas musalla. Ada yang ikut ke atas ada juga yang tidak sempat lagi cari tempat yang tinggi termasuk saya diseret oleh air tsunami yang begitu kecang, kemudia saya terdampar ke atas Ruko terminal Keudah. Ketika kami berada di atap ruko, pada saat itu saya melihat para tahanan ada di atap musalla dan atap kantor Kalapas.
Terjangan air tsunami, menghembaskan kami keluar penjara sepanjang deretan pertokoan. Baju dan celana jean yang saya pakai terhembas dari badan. Di ruko itu saya menemukan celana dan baju. Allah membebaskan saya dari penjara (Amnesti Allah SWT).
Kami Segerombolan di atas Ruko tak pernah terlihat, ditengah air tsunami yang masih tergenang, saya masih sembunyi-sembunyi dari keramaian supaya tidak tertangkap. Saya mencari akal, supaya dapat sampai ke rumah kos adik dan abang sepupu di Beurawe.
Pelan-pelan sambil terus berdoa keselamatan bagi yang lain. Pagi tsunami di Keudah, melalui perjalanan yang berat dan sembunyi-sembunyi dan baru menjelang Magrib baru tiba di Beurawe.
Sampai di Beurawe saya sempat kebingungan karena tidak tahu lorong dan letak rumah kos adik dan abang sepupu. Karena waktu mereka kos di Beurawe saya sudah dalam penjara dan tidak pernah juga saya tanyakan alamat lengkap.
Allah Maha Pemberi Petunjuk. Saya ingat ada abang leting saya di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry tinggal di kos Beurawe. Pernah saya antar dengan kereta yang saya miliki sekitar tahun 2002. Lokasinya tidak jauh dari Masjid Beurawe dan lokasi itu tidak tergenang air tsunami.
Tak lama kemuadian saya juga bertemu dengan Askalani (Ketua Gerak), Misdarul Ihsan (Wartawan) dan juga Alm Radhi (wartawan), beliau seorang jurnalis yang kesetiakawanannya tak diragukan. Baru saja meninggal 2 tahun lalu. Alfatihah untuk Bang Razie. Mareka sedang berdiri di depan rumah kos juga terlihat mereka tidak takut karenan saya tahanan politik. Kemudian Askal mempersilahkan saya dan Amrilrullah masuk kedalam.
Dari beliaulah saya diberi petunjuk lorong dan deteil lokasi rumah kos adik dan abang sepupu. Setelah magrib saya ke tempat itu, rupanya rumah kos adik dan abang sepupu masih terendam dengan air. Dari balik jendela saya lihat honda mereka masih di dalam rumah.
Saya tanya kepada tetangga, mereka jawab sebagian warga lorongnya telah mengungsi ke Blang Bintang dengan truk. Kenapa mereka naik truk, padahal kereta ada di dalam, tanya saya dalam hati. Saya bersyukur mereka selamat, walau belum bertemu. Saya titip pesan sama tetangga mereka bahwa saya mencari mereka.
Namun besoknya kami bertemu. Inilah awal pecah tangis itu. Tak lama kemudian cek dan abang sepupu saya yang datang dari gampong tiba di Beurawe, besoknya setelah Ashar saya dengan menggunakan motor melakukan penyamaran dengan mukena dibawa ke Kiran Jangka Buya Pidie Jaya.
Satu malam saya nginap Peulakan Tambo Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pijay tempat Keluarga. Dan karena solidaritas keacehan yang tak ternilai, saya terhubung dengan beberapa petinggi GAM dan Ketua Konsulat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA-Medan) dan juga teman-teman aktivis kemanusian untuk segera ke Sumatera Utara. Di Medan telah ada tim yang yang menjemput di terminal dan akan menampung saya untuk diberi pilihan apakah tetap di Indonesia atau pergi keluar negeri.
Besoknya, dengan izin Abu dan Mak, saya dibantu oleh banyak orang menjalani perjalanan darat ke Medan hingga selamat atas takdir Allah SWT.
Itulah cerita 26 Desember 2004. 14 Tahun yang lalu. Sebuah cerita, tentang Kehendak Allah dan berupaya bertahan hidup yang dapat bermakna untuk khalayak. Itulah alasan, saya belum bosan memberi makna hidup dengan politik. Dan terus berujuang untuk mewujudkan Aceh Hebat. (M Rizal Falevi Kirani/ Ketua DPP PNA, Mahasiswa Pascasarjana UMSU)