Sejak terdampar 20 April 2018 lalu, 79 pengungsi Rohingya asal Myanmar yang 8 orang diantaranya adalah anak-anak belum mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Saat ini mereka diungsikan di Gedung SKB, Desa Cot Gapu, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireun.
Selasa 4 Desember 2018 lalu, 20 warga Rohingya kembali terdampar di Aceh, kali ini manusia perahu tersebut terdampar di Kuala Idi, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten setempat mengungsikan ke 20 warga Rohingya tersebut di Liposos atau panti gepeng milik Dinas Sosial Kota Langsa.
Kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri melalui Sekretaris Devi Riansyah , mengaku prihatin dengan semakin bertambahnya pengungsi warga Rohingya di Aceh, sebab kondisi seperti ini akan memberatkan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota setempat. Baik secara anggaran maupun moral. Sementara pemerintah pusat hingga saat ini dinilai masih abai terkait penanganan pengungsi Rohingya tersebut.
“Padahal kita sudah berulangkali menyurati kementerian terkait, bahkan Plt Gubernur Aceh Bapak Nova Iriansyah juga sudah menyurati kementerian dimaksud namun hingga saat ini belum ada respon apapun,” katanya saat meninjau pengungsi Rohingya di Gedung SKB Bireuen didampingi Kepala Dinas Sosial Bireun Murdani dan Kasi PSKBS Rohaya Hanum, Rabu 12 Desember 2018.
Kementerian yang dimaksud Devi Riansyah tersebut adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
“Semua kementerian tersebut sudah kami datangi dan bertemu langsung saat kita kasih surat. Namun sampai saat ini belum ada respon apapun. Kita tentu menyayangkan sikap seperti ini,” kata Devi.
Devi menuturkan, dalam aturan penanganan masyarakat luar negeri yang terdampar di suatu negara seperti warga Rohingya yang terdampar di Aceh, maka yang bertanggung jawab harusnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Keimigrasian atau IOM sebagai organisasi internasional yang menangani pengungsi. Tapi pemerintah pusat terkesan abai, sementara IOM setelah tiga bulan mau menangani kemudian menarik diri.
“Sementara kita sebenarnya tidak punya kewenangan apapun. Apalagi kita tidak ada dana untuk pembiayaan makan dan kebutuhan mereka. Jika pun ada, itu hanya karena tuntutan kemanusiaan,” tuturnya.
Pada kesempatan itu Devi juga menjekaskan terkait wacana pemindahan warga Rohingya dari Bireun ke Liposos Langsa, namun hal itu tetap harus menjadi tanggung jawab Imigrasi, bukan Pemerintah Aceh ataupun kabupaten/kota.
“Kita tetap mendesak pemerintah pusat segera bertindak dan merespon surat yang telah kita berikan,” katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Sosial Bireuen Murdani juga berharap agar pemerintah pusat tidak lagi tinggal diam.
Menurut Murdani, setiap bulannya Pemerintah Kabupaten Bireun harus menggelontorkan anggaran tidak kurang Rp 100 juta dengan rinciannya untuk permakanan mereka minimal Rp 3 juta per hari, biaya air dan listrik rata-rata setiap bulannya mencapai Rp 5-6 juta, belum lagi untuk kebutuhan lainnya termasuk untuk biaya kesehatan dan para petugas di lapangan.
“Setiap bulan kita harus menganggarkan Rp 100 juta dan ini tentu sangat membebani anggaran kita,” keluhnya.