Wakil Ketua I PKK Aceh, Dyah Erti Idawati menyampaikan kekhawatirannya atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, dan mengingatkan semua pihak untuk serius melakukan penanganan bersama.
“Saya sangat prihatin dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, tentu ini menjadi “PR” kita bersama untuk penanganannya, harus serius menyikapi persoalan ini,” ujar Dyah.
Hal itu disampaikan pada kegiatan Bincang-bincang Perempuan komunitas bersama perempuan pejabat publik, LSM, dan media di Escape Building, Desa Alue Deah Teungoh, Banda Aceh.
Kegiatan ini bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) tahun 2018 yang dilaksankan oleh Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR), Flower Aceh, Balai Syura dan gerakan perempuan Aceh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, KKR Aceh, P2TP2A, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh (FKMA BKA), Forum PUSPA, Forum Pengada Layanan, Komisi Kesetaraan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Forum Anak Tanah Rencong (FATAR), dan Natural Aceh.
Kepala DPPP Aceh, Nevi Ariani memaparkan data kasus yang terjadi di Aceh dan upaya pemerintah untuk penanganannya. Kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukan, supaya semua pihak memahami kondisi perempuan dan anak saat ini.
Kata dia, data kasus kerasan terhadap perempuan dan anak yang terhimpun oleh P2TP2A Aceh pada tahun 2018 mencapai 1.125 kasus.
“Kami terus lakukan upaya preventif melalui sosialisasi dan kampanye di tingkat provinsi sampai ke desa-desa, juga ke sekolah dan dayah. Untuk penangan perempuan korban kekerasan seksual di masa konflik, juga sudah dibangun kerja sama dengan KKR Aceh”, jelasnya.
Terkait kebijakan, saat ini Rancangan Qanun Mekanisme penangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh dalam peoses pembahasan, kehadirannya akan sangat membantu percepatan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan di Aceh. “Kami juga berharap agar RUU PKS bisa segera disahkan, sehingga keduanya menjadi payung hukum perlindungan bagi perempuan dan anak di Aceh”, tegasnya.
Pengurus Forum Anak Tanah Rencong (FATAR), M. Safari mengingatkan tentang pelibatan anak dalam pembangunan desa dan menghilangkan budaya kekerasan dalam pengasuhan. “Penting memastikan partisipasi anak dalam pembangunan desa agar suara anak didengar dan hak-haknya terpenuhi,” tambahnya.
Sementara itu, perwakilan perempuan komunitas dari Desa Lamdom, Saleha menyatakan harapan agar sosialisasi juga menyasar kelompok laki-laki. “Pelaku kekerasan yang terjadi di Aceh umumnya laki-laki. Jadi penyadaran harus dilakukan ke kelompok laki-laki, supaya lebih berlaku baik dan melindungi perempuan. Perlindungan dan pemberdayaan perempuan penting, supaya kehidupan perempuan lebih baik dan bisa melahiran generasi yang bagus pula”, tegasnya.
Perwakilan komunitas Desa Blang Oi, Zahruna menyampaikan harapan agar disediakannya pusat konsultasi pengaduan korban kekerasan sampai di tingkat desa. “Kasus kekerasan di desa banyak terjadi, sering kami malu sampaikan karna nanti menjadi pembicaran umum, jadi bagus juga kalau ada tempat pengaduan di tingkat desa, yang mudah didapat dan bisa terjaga kerahasiaannya. Supaya permasalah kekerasan perempuan di desa bisa teratasi dan angkanya berkurang”, tegasnya.
Lebih lanjut, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Aceh, Aflinda mengingatkan penting memperhatikan kebutuhan disabilitas dalam penanganan kasus kekerasan. “Kami mengalami kendala karena memiliki kebutuhan khusus, jadi pemerintah dan pihak-pihak lainnya harus memastikan ada keterlibatan kelompok disabilitas dalam program atau pertemuan strategis di desa. Selain itu, mekanisme penangana kasus kekerasan terhadap perempuan juga harus mengakomodir kebutuhan disabilitas. Perempuan disabilitas memiliki kondisi berbeda dan tingkat keretanan lebih tinggi disbandingkan dengan perempuan non-disabilitas, jadi harus diperhatikan agar hak-haknya bisa terpenuhi”, imbuhnya.