Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menolak eksploitasi tambang emas PT Emas Mineral Murni (EMM) di Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya.
Penolakan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna khusus DPRA yang berlangsung di ruang sidang utama DPRA di Banda Aceh, Selasa. Rapat berlangsung sejak sore hingga malam.
Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda dan dihadiri 54 dari 81 anggota lembaga legislatif tersebut. Rapat juga dihadiri kalangan mahasiswa dan aktivis lingkungan hidup.
Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda mengatakan, persoalan PT EMM telah menyebabkan gejolak di masyarakat. Masyarakat mendesak izin eksploitasi tambang emas di pedalaman Aceh tersebut dicabut.
Persoalan ini ditangani oleh Komisi II DPRA sejak beberapa bulan lalu. Komisi membidangi investasi juga sudah menyiapkan rekomendasi untuk disetujui dalam sidang paripurna ini,” kata Sulaiman Abda.
Ketua Komisi II DPRA Nurzahri dalam laporannya mengatakan, izin eksploitasi PT EMM dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta. Izin tersebut dikeluarkan tanpa ada rekomendasi DPRA maupun Pemerintah Aceh.
“Izin eksploitasi tersebut melanggar sejumlah peraturan pemerintah, termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA,” ungkap Nurzahri.
Menurut politisi Partai Aceh tersebut, pihaknya juga sudah menelusuri proses perizinannya. Dalam Analisa Dampak Lingkungan atau Amdal yang diajukan hanya konsesi lahan dengan luas 3.620 hektare. Dan itu hanya di Kabupaten Nagan Raya.
“Namun dalam izinnya, luas lahan eksploitasi yang diberikan mencapai 10 ribu hektare yang mencakup Kabupaten Aceh Tengah. Ini kan aneh, mengapa luas kawasan eksploitasinya melebih amdal yang diajukan,” kata Nurzahri.
Karena itu, Nurzahri mengatakan, Komisi II DPRA merekomendasikan pencabutan izin eksploitasi tambang emas yang diberikan PT EMM. Apalagi aktivitas perusahaan itu sudah berlangsung sejak 2006.
“Keberadaan tambang emas tersebut hanya akan merusak kawasan hutan yang selama ini dijaga masyarakat. Kerusakan lingkungan akibat penambangan tidak akan bisa dipulihkan,” kata dia.
Sementara itu, Tgk M Harus, anggota Fraksi Partai Aceh, dengan tegas menyetujui pencabutan izin tambang perusahaan tersebut. Sebab, prosedur perizinan perusahaan itu tidak sesuai UUPA.
“Jika ini dibiarkan, maka akan sangat berbahaya bagi Aceh. Sebab, prosedur perizinan tidak sesuai UUPA. Pengalaman mengajarkan kita bagaimana kerusakan lingkungan sebagai dampak tambang,” ujar Tgk M Harun.
Sementara itu, sebelumnya, External Relation PT EMM, Zen Zaeni Ahmad menyatakan, hingga saat ini PT EMM belum melakukan kegiatan pertambangan dan ini masih lama yakni sekitar tahun 2032.
PT PT EMM merupakan perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Baik itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, maupun Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Lebih lanjut disebutkan, sejak 19 Desember 2017 PT EMM telah memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) berdasarkan keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tentang Persetujuan Penyesuaian dan Peningkatan Tahap Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi IUP OP Mineral Logam dalam Rangka Penanaman Modal Asing untuk Komoditas Emas kepada PT EMM.
Pada saat ini, PT EMM sedang melakukan proses pemasangan tanda batas (PTB) terhadap Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT EMM, sebagaimana diwajibkan oleh Keputusan Menteri ESDM Nomor 1825 K/ 30/MEM/2018 tentang Pedoman Pemasangan Tanda Batas WIUP atau WIUP Khusus Operasi Produksi, di mana tahapan yang PT EMM lakukan pada saat ini adalah sosialisasi terhadap Pemasangan Tanda Batas WIUP PT EMM.
Dikatakannya, dalam melaksanakan kegiatan pertambangan, PT EMM akan melibatkan segala pemangku kepentingan, beserta masyarakat sekitar yang ada dan hal itu dapat dilihat dari komitmen PT EMM dalam melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) bagi masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.
Dikatakan, memang izin luas areal pertambangan 10 ribu hektare, namun dari hasil penelitian hanya bisa dilakukan kegiatan seluas 3.620 hektare, karena selebihnya berada di kawasan hutan lindung.
Kemudian, dari 3.620 hektare hanya 500 hektare yang bisa dilakukan kegiatan pertambangan dan itupun masih lama, katanya.
Jadi, kata dia, apa yang dikhawatirkan masyarakat akan terjadi kerusakan lingkungan tidak ada, karena kegiatan pertambangannya juga belum ada.
Ia menyatakan, pertambangan yang dilakukan PT EMM ini tidak akan merusak lingkungan, karena perusahaan tetap komitmen akan menjaga kelestarian hutan.
“Hutan-hutan yang terkena kegiatan pertambangan akan ditanam kembali dan itu sudah ada jaminan kepada Pemerintah daerah berupa dana penghijauan,” katanya.
Zen Zaeni menyatakan, sebelum melakukan kegiatan pertambangan, PT EMM sejak 2006 hingga 2009 melakukan berbagai kegiatan CSR kepada masyarakat sekitar dengan pemberdayaan ekonomi.
Kemudian, pada tahun 2012 hingga 2014 dihentikan, karena izin pertambangan mau ditingkatkan menjadi izin produksi, katanya.
Ia menyatakan, persiapan pembangunan konstruksi PT EMM baru akan dilakukan pada tahun 2020 hingga 2023 dan penerimaan tenaga kerja yang diperkirakan mencapai 1.000 orang dengan komposisi 60 – 65 persen tenaga kerja lokal.
Dikatakan, dari hasil penelitian, kandungan mineral yang akan dieksplorasi lebih banyak tembaga dari pada emas.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh, di kawasan Beutong kini terdapat pertambangan emas tradisional yang diduga ilegal, mauli dari yang manual sampai dengan mengerahkan alat berat di lokasi tersebut. Antara