Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) merupakan yang terbesar dibandingkan dengan provinsi lain di pulau Sumatera atau sekitar 14 T.
Namun besarnya anggaran tersebut ternyata belum memberikan perubahan signifikan bagi penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang tak kunjung membaik dan angka inflasi yang sangat tinggi.
Padahal mulai tahun 2023 nanti dana Otsus yang diterima Aceh akan turun menjadi 1 persen dari DAU Nasional, dan pada tahun 2027 dana otsus untuk Aceh akan berakhir. Hal inilah yang menjadi tantangan besar bagi Aceh kedepan.
Bank Indonesia Perwakilan Aceh menyatakan siap untuk memberikan pemikirannya guna menggali sejumlah potensi yang dimiliki Aceh, sehingga siap menghadapi kondisi pasca 2027 nanti.
Hal demikian disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh, Z. Arifin Lubis pada Diseminasi Kajian Ekonomi Keuangan Regional Provinsi Aceh, Rabu (31/10).
Arifin mengakui hasil kajian Bank Indonesia, provinsi Aceh memiliki sejumlah komoditas hebat yang mampu memberikan konstribusi secara nasional, misalnya produksi gabah Aceh yang mencapai 2,6 juta ton atau surplus hingga 1 juta Ton lebih. Belum lagi komoditas kedelai dan komoditas hebat lainnya seperti minyak nilam.
“Karena hasil kajian disebutkan bahwa Nilam Aceh ini terbaik dunia, maka Bank Indonesia siap mensupport pengembangan nilam yang berkualitas ekpor ini,” ujarnya lagi.
Oleh sebab itu kata Arifin, sebagai pelaku ekonomi di Aceh, para pihak yang hadir pada kegiatan itu dinilai memiliki peranan untuk berkontribusi untuk kondisi perekonomian Aceh yang lebih baik. Menurutnya, potensi ekonomi yang dimiliki Aceh, dapat dioptimalkan untuk meningkatkan ekspor serta mengurangi impor.
“Misalnya saja kualitas kopi Aceh yang memiliki keunggulan dibandingkan daerah lain, masih perlu ditingkatkan produktivitasnya untuk memenuhi permintaan buyer dari mancanegara yang belum dapat dipenuhi kuotanya oleh Aceh,” lanjutnya.
Selain itu Arifin mengatakan, keindahan alam, kekhususan dalam hal syariat Islam, serta bukti-bukti sejarah yang banyak terdapat di Aceh, menjadikan Aceh sebagai daerah yang memiliki nilai jual tinggi bagi wisatawan asing, khususnya wisata alam dan religi.
“Nikmat kekayaan alam Aceh yang diberikan Allah, sumber pembiayaan yang besar melalui APBA, serta ketersediaan SDM yang cukup, kiranya dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya, khususnya untuk kemaslahatan masyarakat Aceh, dan Indonesia pada umumnya,” imbuhnya.
Pada kesempatan itu Arifin juga memaparkan kondisi terakhir perekonomian Aceh. Pihaknya mencatat ekonomi Aceh tahun 2018 menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Setelah Tw I tumbuh 3,26% (yoy), pada Tw II meningkat menjadi 5,74%, atau tertinggi kedua di Sumatera.
Kemudian Inflasi juga masih terjaga, dengan capaian per September 2018 sebesar 2,33% (yoy), atau masih dibawah inflasi nasional yang sebesar 2,88%. Selanjutnya tingkat pengangguran dan kemiskinan juga relatif mengalami tren penurunan. Data terakhir (Feb 2018), pengangguran terbuka Aceh tercatat 6,55%, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 7,39%. Angka kemiskinan pada Semester I 2018 tercatat 15,97%, lebih rendah dari periode yg sama tahun sebelumnya 16,89%.
“Namun pencapaian tersebut tidak membuat kita semua terlena, karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, misalnya Pertumbuhan ekonomi belumlah secara struktural, kemudian risiko tekanan inflasi masih tinggi, perlu penyediaan infrastruktur dan peningkatan produktivitas terutama pertanian, Angka pengangguran meskipun turun tapi masih tergolong tinggi bila dibandingkan provinsi lain,” ujarnya.