Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haytar mengingatkan bahwasanya adat dan sejarah bukan hanya sekedar romantisme semata, namun lebih dari itu, adat dan sejarah merupakan asal-usul, harga diri dan nilai kebanggan yang hanya bisa dinilai oleh bangsa yang memiliki peradaban.
Hal demikian disampaikan Wali Nanggroe pada Musyawarah Majelis Adat Aceh di Banda Aceh, Selasa (23/10).
Malik Mahmud meminta agar adat tidak hanya dibicarakan sebagai peninggalan semata, akan tetapi juga dipakai sebagai dorongan untuk maju kedepan. Selain itu, masyarakat Aceh yang mayoritas memeluk agama Islam, maka adat dan budaya di Aceh harus mencerminkan ajaran Islam.
“Jangan sampai menghabiskan tabungan anggaran belanja bertahun-tahun hanya untuk memperingati pesta adat semata,” ujar Wali.
Wali menambahkan, masyarakat Aceh mengintegrasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga Islam menjadi jati diri orang Aceh.
Pada kesempatan itu Wali Nanggroe juga menyampaikan bahwa saat ini posisi masyarakat adat berhadapan dengan lawan yang tidak terlihat, eksistensi budaya, dan nilai-nilai masyarakat adat menjadi tameng yang berhadapan dengan nilai-nilai keterbukaan yang kemudian dapat menghilangkan nilai kesakralan adat yang ada.
“Kini hak masyarakat adat tidak lagi hanya pengakuan, tetapi keadilan dalam menerima manfaat dari transformasi revolusi industri 4.0,” tambahnya.
Wali mengharapkan agar budaya Aceh mencapai peradaban unggul, dengan mengembalikan nilai-nilai keluhuran, keutamaan dan jati diri bangsa Aceh.
“Sudah semestinya keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki Aceh menjadi modal pergerakan menuju peradaban yang maju dan kuat,” lanjutnya.