Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) berencana melakukan penelitian terhadap sejumlah daerah rawan likuifaksi atau pergerakan tanah di daerah itu.
“Kita ingin ilmuwan bisa berkolaborasi dengan BPBA untuk pemetaan mana daerah rentan likuifaksi di provinsi ini,” kata Kepala Pelaksana BPBA Aceh, Teuku Ahmad Dadek di Banda Aceh, Senin.
Ia mengaku, pihaknya telah menunjuk ilmuwan Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala untuk melaksanakan penelitiAn tersebut dalam waktu dekat ini.
BPBA sendiri telah memiliki seismograf terbaru demi menunjang studi likuifaksi, seperti Singkil dan Meulaboh, serta melakukan penelitian beberapa patahan sesar-sesar aktif di provinsi tersebut.
“Jika sewaktu-waktu terjadi gempa, maka kerusakan yang ditimbulkan bisa diminimalisir. Tidak sama dengan kerusakan yang kita perkirakan dengan gempa sebelumnya,” katanya.
Ketua Prodi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Bambang Setiawan, MEng, Sc, PhD mengatakan, likuifaksi terjadi di Palu, Sulawesi Tengah bukan pertama kali terjadi di Indonesia.
Ia mengatakan, fenomena pergerakan tanah tersebut sempat terekam oleh beberapa peneliti saat terjadi peristiwa gempa di provinsi bagian paling Barat ini.
“Terakhir kali gempa 2006 menimbulkan likuifaksi di Pantai Manohara, Pidie Jaya. Sebelumnya, gempa dan tsunami tahun 2004 juga menyebabkan likuifaksi di Banda Aceh,” terangnya.
Ia mengatakan kerusakan-kerusakan bangunan dan infrastruktur terjadi, secara umum akibat hilangnya kapasitas daya dukung lapisan tanah,” kata Bambang.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, lokasi yang pernah mengalami likuifaksi di kawasan Balaroa, dan Petobo di Palu, Sulawesi Tengah akan berpotensi mengalami likuifaksi kembali bila gempa besar terjadi di masa mendatang.
Peneliti Geoteknologi LIPI Adrin Tohari mengaku, pihaknya mendapat informasi di kawasan likuifaksi tersebut merupakan rawa, dan kemudian secara perlahan ditimbun tanah untuk dijadikan lokasi permukiman. Antara