Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf mengajukan praperadilan kasus dugaan suap. Praperadilan diajukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan.
“Iya (Irwandi ajukan praperadilan),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Selasa (9/10/2018).
Febri mengatakan KPK telah menerima panggilan sidang untuk hari ini. Namun, dia menyatakan KPK bakal meminta penundaan jadwal sidang.
“Panggilan sidang untuk tanggal 9 (Oktober 2018). KPK sudah ajukan permintaan pengunduran sidang selama 7 hari, jadi tanggal 16 (Oktober 2018),” ujarnya.
Sebelumnya juga pernah ada praperadilan atas nama Irwandi yang diajukan pihak lain, yakni Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Namun, Irwandi bersurat ke KPK soal keberatannya akan praperadilan itu.
Praperadilan ini sendiri sudah ditolak oleh PN Jaksel. KPK pun terus melanjutkan penyidikan terhadap Irwandi.
Irwandi ditetapkan KPK sebagai tersangka suap. Dia diduga menerima duit suap Rp 500 juta dari Bupati Bener Meriah nonaktif Ahmadi.
Uang itu diduga merupakan bagian dari commitment fee Rp 1,5 miliar atau 10 persen demi mendapatkan ijon proyek infrastruktur yang menggunakan alokasi Dana Otsus. KPK menduga bagian 8 persen diperuntukkan bagi sejumlah pejabat di provinsi, sedangkan 2 persen di tingkat kabupaten.
Kemudian, KPK kembali menetapkan Irwandi sebagai tersangka penerima gratifikasi. Dia diduga menerima duit Rp 32 miliar terkait proyek pembangunan dermaga Sabang.
KPK Minta Jadwal Sidang Diundur
Sementara itu KPK meminta sidang praperadilan yang diajukan Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf diundur. Seharusnya, sidang perdana gugatan itu digelar hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
“Jadwal sidang hari ini, Selasa, 9 Oktober 2018. Karena ada penugasan dan kegiatan lain maka sejak Jumat kemarin KPK telah mengajukan permintaan pada PN Jaksel untuk mengundur waktu sidang selama 7 hari yaitu pada 16 Oktober 2018,” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (9/10/2018).
Terlepas dari itu, tim biro hukum KPK sudah membaca isi permohonan praperadilan yang diajukan Irwandi itu. Febri menyebut Irwandi–dalam permohonan praperadilan itu–meminta penangkapan, penahanan, dan surat-surat dalam penyidikan KPK dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.
Febri juga menyebut sejumlah poin dalam permohonan Irwandi, yaitu:
– Menguraikan bahwa tersangka telah menjadi gubernur sebelumnya dan mengklaim tidak pernah meminta atau menerima uang;
– Menguraikan tersangka dipilih dalam pilkada serentak dengan suara 37,22 persen;
– Mengklaim bahwa tidak pernah menerima uang seperti yang disangkakan KPK dalam penyidikan terkait DOK (Dana Otonomi Khusus) Aceh;
-Menjelaskan pertemuan tersangka dengan Steffy Burase (salah satu saksi di kasus ini) dan usulan Steffy untuk melakukan lomba lari Aceh maraton bertaraf internasional. Disebut juga tersangka menyarankan agar Steffy membuat ‘Rencana Anggaran Biaya’ yang kemudian ditindaklanjuti Steffy dengan membuat RAB senilai Rp 13 miliar. Selanjutnya, RAB tersebut diserahkan tersangka pada Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh dan proses lebih lanjut;
– Diuraikan juga, sebelum ada pencairan dana pemerintah, maka IY (Irwandi Yusuf) menggunakan dana pribadi dan mentransfer ke rekening Stefi Burase dan pihak lainnya, dengan jumlah sekitar Rp 1 miliar;
– Disebutkan juga tentang pelaporan gratifikasi pada KPK yang dilakukan oleh pemohon sejumlah Rp 39 juta.
– Pemohon juga membantah OTT yang dilakukan KPK, dan seterusnya.
Menurut Febri, poin-poin tersebut tak perlu diajukan dalam praperadilan. Alasannya, poin-poin tersebut masuk dalam pokok perkara.
“Kami memandang tersangka banyak bicara tentang hal-hal lain yang tidak ada hubungan langsung, dan lebih banyak menguraikan pokok perkara, yang semestinya tidak menjadi domain dari sidang praperadilan. Justru akan lebih baik jika fakta-fakta yang diklaim tersebut diuji di persidangan,” kata Febri. detik