Pro dan Kontra Fatwa Bupati Bireun Terkait Larangan Ngopi Semeja Non Muhrim

Kebijakan Bupati Bireun Saifannur mengeluarkan aturan standarisasi warung kopi, cafe dan restoran sesuai syariat Islam di daerah tersebut menuai pro dan kontra.

Ketua Komunitas Gerakan Penulis Bireuen Rizki Dasilva, Rabu (05/09), mengaku tidak menemukan adanya kesalahan yang fatal dari aturan tersebut. Menurutnya, aturan itu merupakan upaya yang baik dari Bupati Bireun, dan buan sekedar untuk lucu-lucuan.

“Setelah berulang kali membaca aturan tersebut, saya belum menemukan kesalahan yang fatal. Menurut saya ini usaha yang baik dari Bupati Bireuen. Ini bukan lucu-lucuan. Ini adalah bagian dari norma Islam,” ujar Rizky yang juga wakil ketua Muhammadiyah Bireun ini.

Apalagi kata Rizky, inti dari peraturan Bupati Bireun tersebut juga sangat baik, seperti mewajibkan setiap warung kopi agar menyediakan tempat shalat, tidak bercampur baur laki-laki dan perempuan bukan muhrim serta menggunakan busana yang sesuai dengan syariat Islam.

“Peraturan yang baik seperti ini memang tidak semua orang terima. Karena sebagian orang punya kebiasaan melanggar syariat. Kebiasaan yang tidak baik menjadi karakter yang susah dihilangkan,” ujarnya.

Rizky bahkan mendukung upaya pemerintah memperhatikan kebiasaan di warung kopi, pasalanya kata dia, warung kopi saat ini sudah menjadi rumah kedua bagi generasi Aceh. bahkan tidak jarang pegawai pemerintah dan komunitas menjadikan warung kopi sebagai kantor tempat bekerja.

“ Tanggapan saya juga belum tentu diterima oleh sebagian orang. Karena setiap manusia punya pemahaman yang berbeda dan punya kepentingan yang berbeda. Tapi jujur saya tidak ada kepentingan,” pungkasnya.

Sementara itu Inong Aceh Kabupaten Bireuen, Muazzinah Yacob, saat dimintai konfirmasi detikcom, Rabu (5/9/2018) juga mempertanyakan edaran yang diteken Saifannur pada 30 Agustus lalu itu. Beberapa hal yang masih menjadi pertanyaannya adalah dasar Bupati mengeluarkan edaran tersebut hingga sanksi bagi pelanggar.
“Apakah sudah ada kajian bahwa perempuan yang menjadi pembeli misal pada poin 7 dan poin 13 tanpa mahram menimbulkan keresahan sosial?” tanyanya.

Menurutnya, edaran yang memuat 14 poin tersebut jangan sampai menjadi kebijakan sensasional tanpa memperhatikan substansi pentingnya.

“Syariat Islam adalah rahmatan lil alamin, bukan menjadi ‘ajang’ pengambilan kebijakan sepihak oleh penguasa tanpa melihat kajian menyeluruh untuk kemaslahatan umat,” jelas aktivis perempuan Aceh ini.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads