Peserta perwakilan Kabupaten Aceh Besar meraih juara pertama dalam ajang perlombaan budaya Peudame Ureung (mendamaikan orang berkonflik), yang merupakan salah satu cabang budaya dan adat yang diperlombakan pada pagelaran Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII.
Tim dewan juri pagelaran budaya Peudame Ureung mencatat Aceh Besar memperoleh nilai sebanyak 856 poin. Sehingga mereka ditetapkan sebagai juara pertama pada ajang tersebut. Sementara di urutan kedua diraih oleh tim dari Gayo lues dengan perolehan nilai 835, sedangkan juara ketiga diraih peserta perwakilan Aceh Tamiang dengan skor 806,5 poin.
Selain itu juara harapan satu diraih kota Langsa dengan perolehan nilai sebanyak 804,5, juara harapan dua diraih Aceh Singkil sebanyak 802,5, sedangkan harapan tiga diperoleh kota Banda Aceh dengan nilai 796,5 poin.
Penentuan juara tersebut merupakan hasil keputusan dewan juri setelah melihat penampilan masing-masing peserta pada saat perlombaan yang berlangsung di Museum Tsunami Aceh, sejak 7 hingga 8 Agustus 2018 lalu.
Ketua Panitia Lomba Peudame Ureung, T Raja Zulkarnain alias Raja Nagan mengatakan, lomba cara mendamaikan orang ini merupakan salah satu budaya dan adat yang dimiliki masyarakat Aceh sejak masa lalu.
Dalam perlombaan itu para peserta dari masing-masing daerah diminta untuk menunjukkan bagaimana cara mendamaikan kedua kubu yang berseteru dengan menggunakan adat daerah. Ia mencontohkan, seperti permasalahan pernikahan, sengketa tanah, perkelahian pemuda, dan lain sebagainya. Penyelesaian masalah dengan cara adat terasa lebih damai dibandingkan dengan hukum pidana atau penjara.
“Sebab kalau orang lepas dari penjara, bisa timbul dendam. Sementara kalau yang di kampung begitu makan bersama (kenduri peudame ureng) sudah saling bersilaturahmi, nah ini perlu dipertahankan,” tuturnya.
Kepala Bidang Hukum Adat Majelis Adat Aceh (MAA), Abdurrahman mengatakan, Peudame Ureung merupakan budaya dalam ruang lingkup hukum adat.
“Keseharian sudah dikenal dengan peradilan adat. Cuma dalam konteks PKA disebut Peudame Ureung, intinya sama. Kalau di MAA dikenal istilah peradilan adat,” ungkap Abdurrahman.
Peradilan adat ini sebenarnya sudah ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Setiap ada sengketa, konflik di tingkat gampong. Pemangku adat seperti Tuha Peut, Tuha Lapan (sebutan pemangku adat) dan Geuchik (kepala desa) melakukan penyelesaian dengan peradilan adat.
Abdurrahman mengaharapkan melalui momen PKA VII, penerapan hukum adat di tingkat gampong bisa lebih masif. Perselisihan di tingkat gampong bisa diselesaikan dengan baik, sehingga ketertiban dan keamanan semakain terjamin.
Selain itu pada ajang perlombaan kesenian Cagok Lawak Aceh, Bireuen tampil sebagai juara pertama dengan skor 2.860, juara kedua diraih kota Banda Aceh dengan nilai 2.640, dan posisi ketiga ditempati Bener Meriah 2.480, serta Aceh Besar keluar sebagai juara ke empat.
Disamping dari perlombaan adat Susun Ranup (Menyusun/Merangkai Siri), dalam ajang tersebut Sabang keluar sebagai juara pertama, disusul Aceh Jaya juara kedua , Sieumeulu juara ketiga, Banda Aceh harapan satu , Bireuen harapan dua, dan Aceh Barat Daya harapan ketiga. (*)