Ketua Jurusan arsitektur dan perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah, Dr. Ir. Izziah, M. Sc, menyebutkan Taman Sari Kota Banda Aceh merupakan jantungnya kota Banda Aceh dan Paru-paru kota yang seharusnya bebas dari bangunan, namun yang terlihat justru perlahan sudah mulai ada bangunan.
Hal demikian disampaikan Izziah pada Seri Diskusi kota jurusan arsitektur dan perencanaan Fakultas Teknik Unsyiah yang mengangkat tema “ Taman Sari” Masa Lalu, Kini dan Esok, Jumat (27/07/2018) sore di Gedung Perpusatakaan Unsyiah Banda Aceh.
“Walaupun itu memang sudah ada dari dulu, tapi itu kan salah jadi seharusnya tidak dilanjutkan,” ujarnya.
Menurutnya bisa saja taman sari digunakan untuk kegiatan-kegiatan namun tidak perlu panggung permanen, apalagi di kota Banda Aceh banyak tempat lain yang ada panggung permanen, seperti taman budaya, taman Ratu Safiatuddin, dan lainnya.
“Walaupun itu punya provinsi, tapi kan bisa berkalaborasi, bersinergi untuk memanfaatkan tempat tersebut,”lanjutnya.
Ia mengingatkan, fungsi utama taman sari adalah untuk kebutuhan ekologis. Selain itu Taman Sari juga sebagai ring satunya kota Banda Aceh yang harus dimnafaatkan untuk menanam pohon-pohon yang sudah tidak ada.
“Bangunan yang sudah ada juga tidak ada gunanya, hanya menghabiskan dana saja, harusnya Pemko kreatif, mengembalikan suasana taman sari sebaagai kota pusaka,”
Sementara itu DR. Yanis Rinaldi dari Fakultas Hukum Unsyiah mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh menegur walikota Banda Aceh terkait pembangunan di Taman Sari Banda Aceh yang dikhawatirkan banyak pihak mengganggu kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Yanis mengatakan DPRK sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan harus menegur Pemko Banda Aceh agar mengembalikan fungsi dari taman sari sesuai dengan amanah qanun RTRW Kota Banda Aceh yang merupakan kesepakatan bersama antara Pemko Banda Aceh dengan DPRK.
Dalam RTRW Kota disebutkan bahwa ada tiga fungsi dari taman sari, masing-masing fungsi ekologis, fungsi ekonomis dan fungsi estetika.
“Ini hak masyarakat dan hak DPRK. Jika menurut DPR ini menyalahi RTRW, maka DPR harus meminta walikota untuk membatalkan itu. Jadi DPRK harus mendesak Pemko untuk taat asas,” ujarnya.
Sementara itu Rahmatsyah dari PUPR Kota Banda Aceh mengakui setiap kota wajib memiliki 30 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan 20 persen dari RTH merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah.
Terkait rencana pembangunan panggung di Taman Sari menurutnya,dikarenakan walikota melihat tempat tersebut sangat aktif dan sangat sering digunakan, sehingga walikota menginginkan pembangunan panggung permanen dan tidak bongkar pasang.