LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai pengelolaan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tidak ada masterplan yang jelas. Dana yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2008 inilah yang membawa Gubernur Irwandi Yusuf ke sel KPK.
“(Pengelolaannya) sama sekali tidak (sesuai prosedur). Karena MaTA kan dari sejak awal sudah menganalisis tentang sistem pengelolaannya dari perencaanaan. Nah perencanaan selama ini tidak berbasis pada perencanaan kebutuhan tapi lebih berbasis pada keinginan,” kata Koordinator MaTA Alfian, kepada detikcom, Senin (16/7/2018).
Keinginan yang dimaksud Alfian yaitu keinginan elite baik politisi, pemegang kekuasaan hingga “pemodal”. Hal ini terlihat dari banyaknya pembangunan yang dibuat dengan menggunakan Doka akhirnya terbengkalai setelah dibangun.
Menurutnya, DOKA yang sudah dikucurkan mencapai Rp 56,6 triliun sejak 2008 hingga kini tidak ada masterplan yang jelas. Seharusnya, dana yang akan diberikan hingga 2027 nanti digunakan untuk pemberantasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, pembanguann insfratruktur, kesehatan, pendidikan, termasuk sosial budaya.
“Karena tidak ada masterplan sehingga rata-rata ditujukan ke pembangunan fisik,” jelas Alfian.
“Artinya tidak punya masterplan yang arti kata sejak 2008 hingga 2027 nanti Aceh mimpinya bagaimana dengan uang sebesar itu. Sekarang ada dana Rp 56,6 triliun yang sudah dikucurkan sejak 2008 sampai 2018. Artinya sampai sekarang tidak jadi daya ungkit,” ungkap Alfian.
Dia menilai, pembangunan fisik lebih dominan karena ada keinginan para elite di dalamnya bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Seharusnya, penggunaan Doka harus merata sesuai mandat Doka salah satunya pemberantasan kemiskinan.
Alfian berharap, dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK, dapat menjadi momentum bagi Pemerintah Aceh untuk membangun sistem yang berintegritas.
“Artinya bukan hanya membangun fakta integritas saja,” jelas Alfian. Detik