Terungkapnya dugaan korupsi dana otonomi khusus yang menyeret Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi hendaknya dimaknai sebagai momentum mengevaluasi pengelolaan dana otonomi khusus Aceh secara menyeluruh.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPW Aceh Kamaruddin, Minggu, 8 Juli 2018.
Menurut Kamaruddin, evaluasi tersebut mutlak diperlukan untuk menghindari kasus serupa terulang lagi di masa mendatang.
“Yang paling mendesak sekarang adalah Aceh membutuhkan adanya master plan atau rencana induk pengelolaan dana otonomi khusus yang jelas peruntukannya. Bisa jadi semacam ‘GBHN’ bagi Aceh ke depan, sehingga siapa pun kepala daerah yang terpilih, harus menjalankannya sesuai aturan main yang diatur dalam rencana induk tersebut,” kata Kamaruddin.
Agar rencana induk itu dapat berjalan efektif, Kamaruddin menyarankan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengawasi agar rencana induk itu dijalankan sebagaimana mestinya.
Selama ini, kata Kamaruddin, pengelolaan dana otonomi khusus Aceh ini terkesan tidak beraturan. Setiap pergantian pemerintahan, menafsirkan sendiri-sendiri peruntukan dana otsus tersebut. Akibatnya, sering tidak tepat sasaran dan rawan disalahgunakan.
Seperti diketahui, Dana Otonomi Khusus adalah semacam uang kompensasi yang diterima Aceh setelah GAM berdamai dengan Pemerintah Indonesia. Ketentuannya dituangkan dalam UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh).
Disana disebutkan, Aceh berhak atas Dana Otsus selama 20 tahun. Dimulai sejak 2008, dana itu akan dihentikan pada 2027.
Jika 15 tahun pertama besarannya setara 2 persen Dana Alokasi Umum, pada 5 tahun sesudahnya, besarannya tinggal 1 persen. Jika dihitung-hitung, selama 20 tahun itu, akan ada 163 triliun kucuran dana Otonomi Khusus yang diterima Aceh dari Pusat.
Pasal 183 ayat (1) UUPA menyebutkan Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Kamaruddin menambahkan, Sejak 2008 hingga 2017, Aceh telah menerima Dana Otonomi Khusus sejumlah Rp 56,67 triliun.
“Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat kita. Tapi yang terjadi, hingga 2017, Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin. Tahun lalu, Aceh dinobatkan sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Awal 2018, Aceh masuk enam provinsi termiskin di Indonesia. Ini sangat memprihatinkan kita semua,” kata Kamaruddin.
Pentingnya rencana induk pengelolaan dana Otsus ini sebenarnya sudah disuarakan oleh Bank Dunia sejak 2011. Ketika itu, Bank Dunia menemukan, ketiadaan master plan, membuat dana Otsus seperti menguap pada proyek-proyek kecil tak berbekas.
Studi Bank Dunia menemukan, setidaknya 54% dari 5.313 kegiatan pada 2010 yang bersumber dari dana otsus tergolong berskala kecil (di bawah Rp 100 juta), tidak strategis dan tidak memiliki daya ungkit pembangunan. Di antaranya digunakan untuk pembangunan pagar sekolah, paving block, dan toilet. Tentu saja ini menyimpang dari tujuan utama dana otsus untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Contoh lain adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh soal penggunaan dana otonomi khusus periode 2008 – 2012. BPK menyimpulkan, dari total Rp 21,1riliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar Rp 5,1 triliun atau 24 persennya tidak jelas kemana rimbanya.
“Karena itu, di sisa waktu yang ada, mari kita benahi lagi tata kelola dana otonomi khusus ini agar benar-benar terasa dampaknya bagi masyarakat. Masih ada dana sekitar Rp 98 triliun hingga 9 tahun ke depan. Jangan sampai, ini pun menguap tak berbekas,” kata Kamaruddin.