Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Aceh Peduli UUPA Kamaruddin menyebutkan, konflik regulasi tampaknya kembali terulang di Aceh.
Pernyataan itu disampakan Kamaruddin menanggapi surat KPU yang menyebutkan kuota caleg di Aceh sebanyak 100 persen jumlah kursi di dewan. Jika kursi di dewan 81 orang, maka jumlah caleg yang diajukan juga sama. Rujukannya adalah pasal 244 UU Nomor 7 Tahun 2017.
Kasus ini kata Kamaruddin mengulangi kejadian serupa tahun 2013, menjelang pemilu legislatif 2014 namun akhirnya KPU Pusat setuju: caleg Aceh 120 persen dari jumlah kursi setelah melalui proses panjang.
“Kenapa hal yang sudah selesai ini kemudian diulang lagi? Padahal, MoU Helsinki jelas-jelas menyebutkan hanya enam hal yang menjadi wewenang pusat di Aceh: bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama,” ujarnya.
Menurut kamaruddin, jika semua undang-undang nasional diberlakukan untuk Aceh, pihaknya mempertanyakan apa gunanya butir-butir MoU Helsinki.
“Ayo, KPU, hormatilah perjanjian yang telah ditandangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Perjanjian itu tidak dicapai begitu saja, tetapi lewat perjuangan panjang yang mengorbankan banyak nyawa keluarga kami masyarakat Aceh,” lanjutnya lagi.
Oleh karena itu pihaknya meminta KPU segera membatalkan surat edaran KPU nomor: 605/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018 tanggal 25 Juni 2018 perihal Syarat calon anggota DPR Aceh dan DPR Kab/kota di Aceh.
“Apabila dalam 14 hari kerja tidak mencabut surat edaran tersebut, maka kami dari Koalisi Masyarakat Aceh Peduli UUPA, akan menggugat persoalan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, karena domisili KPU di Jakarta.” pungkasnya