Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) telah mengajukan keberatan kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Aceh atas permohonan informasi.
Keberatan ini diajukan lantaran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu Sekda Aceh tidak merespon permintaan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 9 tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).
“Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Sekda memiliki waktu 30 (tiga puluh) hari kerja untuk merespon surat keberatan tersebut. Apabila dalam masa tersebut, Sekda Provinsi Aceh juga tidak merespon surat keberatan yang dilayangkan tersebut, MaTA akan menyengketakan Sekda Provinsi Aceh ke Komisi Informasi Aceh (KIA),” ujar Amel, Staff Bidang Advokasi Kebijakan Publik MaTA, Selasa (05/06/2018).
Sebelumnya pada (08/05/2018) MaTA telah menyampaikan surat permohonan Pergub Nomor 9 tahun 2018 tentang APBA kepada PPID Pembantu Sekda Aceh. Idealnya Badan Publik tersebut memiliki waktu 10 hari kerja untuk menyampaikan pemberitahuan tertulis atau merespon surat MaTA, akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan sehingga MaTA melayangkan surat Keberatan.
Amel mengingatkan, dokumen APBA merupakan informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh publik. Bagi MaTA, dokumen tersebut mutlak diperlukan sebagai referensi dan bahan untuk melakukan monitoring pelaksanaan pembangunan Aceh yang anggarannya bersumber dari APBA.
“Selama ini MaTA tidak pernah kesulitan memperoleh dokumen APBA dari Badan Publik di Aceh melalui akses informasi. Bahkan permohonan informasi terhadap APBA tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan oleh MaTA selalu direspon dan dipenuhi dalam jangka waktu tidak lebih dari sepuluh hari kerja,” lanjutnya lagi.
Menurut MaTA, kebijakan tersebut adalah langkah mundur bagi Pemerintah Aceh periode sekarang. Pemerintah Aceh telah gagal membuktikan dirinya sebagai pemerintah yang terbuka.
Ironisnya lagi, hal tersebut sekaligus bertolak belakang dengan harapan Gubernur Aceh agar publik di Aceh ikut melakukan pengawasan terhadap APBA yang telah dipergubkan.
“Lantas bagaimana masyarakat dapat efektif melakukan pengawasan terhadap pembangunan Aceh sementara datanya saja tidak dapat diakses?,” Tanya Amel.