Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh Ghazali Abbas Adan meminta agar perdebatan terkait dengan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang cambuk segera dihentikan.
Pasalnya kata Ghazali masih banyak pekerjaan lain yang harus dituntaskan untuk mewujudkan Aceh Hebat.
Hal demikian disampaikan Anggota DPD RI asal Aceh Ghazali Abbas Adan pada kegiatan sosialisasi empat pilar kebangsaan bersama GPI Aceh di Aula Kesbangpol Aceh, Sabtu (21/04/2018).
Ghazali Abbas meminta agar persoalan menyangkut Pergub tentang hukum acara jinayat segera diselesaikan dengan prinsip saling menghargai, bukan dengan saling menghujat, memfitnah, provokasi yang tidak cerdas dan tidak beradab.
“Selesaikan baik-baik, jangan saling hujat menghujat, ini memalukan, kita mengaku orang beradab tapi pada prakteknya kita berbahasa dengan bahasa biantang.
Sekarang bagaimana kita berfikir membangun Aceh yang sejahtera, Aceh damai, Aceh hebat, jangan kita habiskan baterai untuk hal-hal sepeti ini,” ujar Ghazali Abbas.
Sementara itu sebelumnya, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry, Prof Dr Alyasa’ Abubakar, MA., menyebutkan ada dua hal yang bisa disimpulkan bahwa Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat tidak melanggar syariat. Pertama, secara fiqih, penjatuhan hukuman itu harus ada yang mengetahui dan menyaksikan.
“Berapa orang yang menyaksikan dan sebagainya, itu tidak dibatasi. Jadi, perintah bahwa hukuman itu disaksikan oleh orang-orang, itu diterjemahkan ke dalam qanun menjadi ‘terbuka’,” tandasnya.
Meskipun dalam terjemahannya bersifat terbuka, tetapi anak-anak tetap tidak diperbolehkan untuk melihat pelaksanaan hukum acara jinayat tersebut. Hal ini sesuai dengan isi pasal 262 ayat 2, Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. “Masalahnya, dalam pelaksanaan uqubat cambuk selama ini terjadi pelanggaran qanun tersebut, yakni anak-anak ikut menonton prosesinya,” kata Alyasa’.
Penilaian kedua, kata Alyasa’, di dalam fiqih tujuan memberikan hukuman adalah untuk mengampuni dosa. Hukuman yang diberikan juga bukan untuk memojokkan orang-orang yang dihukum. Menurutnya orang yang sudah mendapat hukuman itu tergolong bersih.
“Dia kembali seperti orang biasa, karena sudah menebus kesalahannya. Tetapi, dalam praktik sekarang, ‘kan tidak demikian, selalu distigma negatif dan diejek,” tandas mantan Kadis Syariat Islam Aceh ini. Selain itu, ada juga kecenderungan mendokumentasikan pelaksanaan hukuman acara jinayat tersebut ke dalam bentuk video dan menyebarkannya ke media sosial.
Pertimbangan-pertimbangan seperti ini, kata Alaysa’, yang membuat Gubernur Aceh berinisiatif untuk mengubah lokasi pelaksanaan hukuman cambuk. Tujuannya agar anak-anak tidak berpeluang menonton lagi. Akhirnya penjara menjadi pilihan karena tempat tersebut dinilai paling aman dan jauh dari jangkauan anak-anak.
Alyasa’ menyarankan tempat alternatif pelaksanaan hukuman acara jinayat jika memang sebagian kalangan kurang sepakat. Tempat yang dimaksud adalah sebuah bangunan khusus yang dibuat untuk pelaksanaan hukuman cambuk agar tidak lagi terjadi pelanggaran terhadap isi qanun. Namun, menurut Alyasa’, tempat yang demikian membutuhkan waktu untuk membuatnya karena terkait dengan anggaran, lokasi, dan segalanya.
“Ini bisa menjadi solusi alternatif untuk jangka panjang,” kata Guru Besar UIN Ar Raniry ini.
Sebelumnya ormas FPI melakukan aksi unjuk rasa di kantor gubernur Aceh menolak pergub Nomor 5 tahun 2018 tersebut.