Keberadaan berbagai cagar budaya di Banda Aceh seperti makam-makam kuno, batu nisan, tempat-tempat bersejarah, dan lain sebagainya, menujukkan tingginya peradaban kota Banda Aceh pada masa lalu.
Oleh sebab itu kalangan DPRK Banda Aceh menilai sangat layak dan pantas bagi kota Banda Aceh yang telah berusia 813 tahun dan merupakan salah satu kota tertua di Asia Tenggara, untuk menyandang gelar sebagai kota warisan dunia dari UNESCO.
Hal demikian disampaikan Anggota DPRK Banda Aceh Arida Saputra saat menyampaikan pandangan Fraksi PKS DPRK Banda Aceh terhadap Rancangan qanun inisiatif DPRK Banda Aceh tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya, pada rapat paripurna DPRK Banda Aceh, Jumat (20/04).
Untuk mewujudkan hal itu kata Arida membutuhkan perhatian serius dari Pemerintah Kota Banda Aceh dan masyarakat kota Banda Aceh agar sama-sama menjaga dan melestarikan cagar budaya yang ada.
“Pelestarian dan pengelolaan cagar budaya merupakan dua hal yang amat sangat penting untuk kita lakukan, karena selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan sejarah serta penghargaan terhadap peninggalan pendahulu kita, keberadaan situs-situs sejarah dan cagar budaya tersebut juga bernilai ekonomis jika mampu dikelola dengan baik, karena akan menarik kunjungan wisatawan ke daerah kita ini,” ujar anggota komisi B DPRK itu.
Namun harus diakui kata Arida, penghormatan dan penghargaan terhadap cagar budaya masih sangat rendah, bahkan nyaris tidak mendapatkan perhatian, baik itu dari segi perawatan maupun dari segi penganggaran.
“Maka dengan adanya qanun ini nantinya, tentu sudah ada dasar hukum bagi Pemerintah kota Banda Aceh untuk memplotkan anggaran guna melestarikan dan pengelolaan terhadap cagar budaya di kota Banda Aceh,” lanjutnya lagi.
Salain itu lanjut Arida regulasi terkait keberadaan cagar budaya dan situs-situs sejarah ini menjadi penting agar tidak terulang lagi kesalahan fatal atau kalau bisa disebut sebagai “kecelakaan sejarah”, pada pembangunan proyek Instalansi Pembuangan Air Limbah (IPAL) gampong Jawa pada tahun 2017 lalu.
Pemerintah kota Banda Aceh dinilai tidak menghargai keberadaan dari situs sejarah di lokasi tersebut, sehingga Protes muncul dari masyarakat yang kemudian berujung pada penghentian pengerjaan proyek IPAL yang bernilai rsatusan milyar itu.
“Saat itu Pemko mendapatkan banyak protes dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat karena pembangunan IPAL itu ternyata mengganggu keberadaan situs sejarah, berupa makam-makam kuno yang ditandai dengan adanya sejumlah nisan yang berusia ratusan tahun yang berada di gampong gampong Jawa,” pungkasnya.