Pengelolaan dana haji telah berpindah tangan dari Kementerian Agama kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Tak hanya memegang dana pelaksanaan ibadah haji, BPKH juga nantinya akan mengelola dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji. Dalam beleid itu, tertuang tata cara pengeluaran penempatan, dan investasi keuangan haji yang bisa dilakukan oleh BPKH.
Belum dihitung berapa besaran dana haji yang akan dikelola BPKH tahun ini. Namun dana haji tahun ini dipastikan lebih besar dari tahun sebelumnya Rp 92 triliun, diperkirakan mencapai Rp 100 triliun lebih.
“Memang kesannya besar, begitu lahir asetnya langsung Rp 100 triliun. Tapi kita ini hanya mengelola uang titipan dari Kementerian Agama. Ini uang titipan, berarti harus dikembalikan dan minta izin kalau mau dikelolanya. Jadi unik, meski aset besar, tapi kita tidak bisa tiba-tiba beli saham, atau properti dan lain-lain,” kata Kepala Badan Pelaksana BPKH Anggito Abimanyu saat berkunjung ke kantor detikcom, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
PP yang baru itu juga mengubah porsi pengelolaan dan haji yang ada. Sebelumnya 65% dana haji untuk penempatan di produk perbankan syariah sisanya 35% untuk instrumen investasi. Kemudian diubah menjadi 50-50%.
Untuk porsi instrumen investasi terbagi menjadi 4 saluran, 20% untuk investasi langsung, 5% untuk investasi emas baik dalam bentuk fisik maupun tidak, 10% untuk investasi lainnya yang diatur oleh BPKH sendiri dan sisanya untuk surat berharga syariah negara (SBSN).
BPKH sendiri sudah mulai memberikan sinyal kemana penempatan uang dana haji tersebut. Salah satunya masuk ke tanah wakaf milik Aceh di Baitul Asyi, Arab Saudi. Hal itu sontak menimbulkan polemik.
Anggito pun menjelaskan kalau BPKH bukan membeli tanah tersebut. Namun untuk berinvestasi di tanah yang sekitar 200 tahun yang lalu itu dibeli oleh warga Aceh Habib Bugak Al Asyi yang sedang menunaikan ibadah haji.
“Ada sekitar 12 titik tanah wakaf milik orang Indonesia di sana yang terdaftar rapih di mahkamah syariah, salah satunya Baitul Asyi. Habib Bugak itu dia beli lalu berikrar untuk mewakafkannya dan diakui oleh mahkamah syariah. Ikrarnya pemanfaatannya untuk jamaah Aceh, kalau sudah habis untuk jamaah Haji Jawi itu nusantara,” imbuhnya.
Di atas tanah itu kini telah berdiri sebuah hotel yang investor, pengelolanya dan nazhirnya dari Arab Saudi. Mereka mendapatkan kontrak mengelola tanah tersebut selama 25 tahun dan kini tersisa 8 tahun.
Menurut aturan wakaf, sekitar 1/3 dari penghasilan hotel tersebut akan diberikan untuk penerima manfaat wakaf yakni jamaah Aceh, sisanya dibagikan untuk investor dan pengelolanya. Skema itu tetap akan dilakukan walaupun berganti investo
“Nah itu yang kita ingin masuk, kita ingin menjadi investor untuk mengambil alih tanahnya,” tambah Anggito.
Untuk merealisasikan hal itu, BPKH sendiri akan bertemu dengan nazhir tanah wakaf tersebut pada 19 Maret 2018 mendatang. Pihaknya juga akan bertemu dengan nazhir tanah wakaf lainnya yang menjadi incarannya.
“Jadi kalau kita tidak disetujui ya tidak apa-apa, kita akan mencari tanah wakaf yang lain,” ujarnya.
Anggota BPKH Bidang Investasi, Beny Witjaksono menambahkan pihaknya sangat tertarik untuk berinvestasi di tanah wakaf di Arab Sauddi lantara prospek yang bagus. Pertama pasar dari pemanfaatnya sudah jelas dengan melihat banyaknya jamaah haji setiap tahunnya.
Kedua pendapatannya dalam bentuk riyal Arab Saudi, sehingga ada unsur hedging dalam pengelolaan dananya. Ketiga pemanfaatannya juga sejalan dengan kemaslahatan umat.
“Ya pokoknya kita cari aset yang return-nya bagus. Kalau di Arab itu penerimaannya riyal itu bisa menjadi stok riyal yang bisa dipakai oleh Kementerian Agama,” kata Beny. Detik