Sebagai perintis Perdamaian Aceh, maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Yusuf Kalla atau yang akrab disapa JK sangat layak dan wajib mendapatkan penghargaan.
Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, sebagaimana dirilis oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin, saat menerima kunjungan tim dari Perpustakaan Nasional RI, Dedi Junaedi selaku Sestama Perpustakaan Nasional dan Teuku Syamsul Bahri, Pustakawan Ahli Perpusnas, Selasa (27/2/2018).
“Sebenarnya Pak JK yang paling berjasa dalam perdamaian Aceh, tentu saja dengan izin presiden saat itu, Pak SBY, karena tanpa izin presiden saat itu, maka beliau tidak bisa bergerak. Pak JK yang merintis, menyusun dan menugaskan perunding. Sebagai perintis perdamaian Aceh, JK tentu wajib dapat penghargaan,” ujar Irwandi Yusuf.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh, Zulkifli, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh, Mulyadi Nurdin, serta pejabat terkait lainnya.
Sebagaimana diketahui, proses perdamaian Aceh terjadi pada tahun 2005, yaitu saat JK menjabat sebagai Wakil Presiden dan Soesilo Bambang Yudhoyono atau SBY menjabat sebagai Presiden RI.
“Jadi ada satu kutipan beliau yang sangat bagus, menyelesaikan konflik Aceh di meja perundingan jauh lebih murah jika dibandingkan dengan proses penyelesaian dengan ujung senjata, yang belum tentu akan berujung damai. Jadi, menurut saya Pak Jusuf Kalla yang paling berjasa,” tambah Irwandi.
Setelah menjalani proses panjang, tim juru runding dari Gerakan Aceh Merdeka yang saat itu dipimpin oleh Malik Mahmud Al-Haytar, dan Hamid Awaluddin Ketua tim Juru Runding Pemerintah RI difasilitasi oleh Martti Ahtisaari mantan Presiden ke-10 Finlandia, akhirnya menandatangani Kesepakatan Bersama atau Memorandum of Understanding, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Perjanjian ini kemudian dikenal dengan MoU Helsinki.
“Pak JK bukan harus tapi wajib dapat penghargaan. Saya tidak tahu bentuk penghargaannya apa. Orang Aceh tidak mampu memberikan penghargaan dalam bentuk benda, kami hanya mampu memberikan penghargaan dalam bentuk rasa,” sebut Irwandi.
Meski demikian, masih ada beberapa butir perjanjian MoU Helsinki yang belum dipenuhi oleh Pemerintah RI, yaitu masalah kebutuhan hidup, masalah pekerjaan. Dalam MoU Helsinki jelas disebutkan bahwa setiap mantan kombatan, korban konflik dan Tahanan Politik serta Narapidana Politik berhak mendapatkan lahan pertanian yang wajar atau pekerjaan yang wajar. Ini yang belum terpenuhi.”
Irwandi juga mengungkapkan, bahwa perdamaian Aceh berpengaruh dalam banyak hal. Situasi damai berimbas pada pembangunan Aceh, dengan dana Otonomi Khusus, Aceh dapat melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.
“Kita dapat membangun infrastruktur, kita dapat membangun sistem kesehatan. Bahkan, sistem kesehatan yang dibangun di Aceh diadopsi secara nasional menjadi Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu, sistem pendidikan juga sudah lumayan bagus. Memang akhir-akhir ini merosot, maka ini kembali menjadi tugas saya untuk kembali memperbaiki,” ungkap Irwandi.
Selain itu, sambung Irwandi, pasca damai dan tsunami angka kemiskinan Aceh berada pada angka 32,4 persen, dan saya yang saat itu menjadi Gubernur Aceh pertama pasca damai berhasil menurunkan angka kemiskinan pada angka 18,7 persen.
Saat ini, kemiskinan Aceh berada pada angka 16 persen. Tugas saya lagi untuk menekan angka kemiskinan Aceh menjadi mendekati atau lebih kecil dari rata-rata nasional.
“Ini adalah kerja besar, kerja berat. Butuh dukungan dari seluruh rakyat Aceh bukan hanya aksi pemerintah,” imbuh Bang Wandi.
Perdamaian Aceh Bagian dari Sejarah RI, harus Ditulis!
Dalam pertemuan tersebut, alumni Oregon State University itu juga menekankan, bahwa sebagai bagian dari sejarah Republik Indonesia dan sebagai pembelajaran untuk generasi mendatang, maka Perdamaian Aceh harus ditulis.
“Oleh karena itu, Perdamaian Aceh harus direkam dengan baik, harus dibukukan dengan baik agar generasi mendatang bisa belajar. Negara wajib membukukan perdamaian Aceh,” imbau Gubernur.
“Perdamaian Aceh adalah salah satu perdamaian tersukses di dunia. Saya sering mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara untuk menyampaikan kisah keberhasilan perdamaian di Aceh, bahkan beberapa negara yang sedang dilanda konflik juga berkunjung dan belajar bagaimana Aceh berdamai dengan Pemerintah RI,” sambung Irwandi.
Irwandi mengungkapkan, beberapa pelaku sejarah Perdamaian Aceh telah membuat buku. “Pak JK, Jaakko Oksanen, Martti Ahtisaari, Hamid Awaluddin, Farid Husain ada membuat buku, jika dibaca semuanya, maka akan didapat cerita sejarah Aceh dari berbagai sisi.”
Meski demikian, Irwandi mengakui tidak ada seorang pun dari tim perunding GAM yang membukukan proses perundingan GAM dengan Pemerintah RI.
“Saya bercita-cita ada satu galeri di Perpustakaan Aceh yang khusus memuat buku-buku terkait perdamaian Aceh,” pungkasnya.