Transaksi Uang Virtual Bertentangan dengan Syariat Islam ?

Deputi Kepala Perwakilan BI Aceh, Teuku Munandar mengakui sejauh ini belum ditemukan adanya transaksi yang menggunakan virtual currency atau mata uang virtual.

Hal demikian disampaikan Teuku Munandar, pada seminar Teknologi Finasial (Fintech) di Aula Fakultas Ekonomi Unsyiah Banda Aceh, Selasa (13/02/2018).

Munandar mengakui bahwa pihaknya mengawasi setiap perusahaan jasa pembayaran, baik itu parbankan maupun pengguna sistem pembayaran yang masuk dalam otoritas Bank Indonesia.

Sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam, Munandar berharap masyarakat Aceh tetap mengutamakan nilai-nilai syariat Islam dalam berbagai sektor kehidupan sehari-hari, salah satunya tidak boleh judi atau spekulasi.

“Aceh sebagai provinsi Syariat Islam tentu mengutamakan nilai-nilai syariat Islam, kalau penggunaan virtual currency ini spekulasi atau judi tentu bertentangan dengan syariat Islam, maka kami himbau masyarakat Aceh kenali dulu transaksi ini, dan sesuai apa tidak dengan syariat Islam yang kita anut,”ujarnya.

Munandar menambahkan, melalui seminar tersebut pihaknya berharap semakin banyak masyarakat yang mengenal virtual currency dan teknologi financial.

Ia juga berharap kedepan semakin banyak masyarakat yang tau sehingga bisa meminimalisir risiko kerugian yang dilakukan masyarakat, yang melakukan transaksi virtual namun tidak tau apa risikonya.

Sebagaimana dikutip dari detik.com, virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter, yang diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward), atau mining berupa proses menghasilkan sejumlah virtual currency baru, melibatkan proses matematika yang rumit

Mengapa Bank Indonesia memperingatkan akan risiko virtual currency? Setidaknya ada empat karakteristik virtual currency yang dinilai sangat berisiko, yakni:
1. Virtual currency tanpa regulator sehingga tidak ada kepastian hukum dan kepastian keamanannya.
2. Transaksi dilakukan person to person tanpa lembaga perantara resmi sehingga tidak ada yang menangani keluhan yang muncul.
3. Identitas pengguna dapat disamarkan sehingga rawan digunakan untuk kegiatan ilegal.
4. Tidak terdapat entitas sentral sebagai penanggung jawab sehingga harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran.

Dengan begitu, penggunaan virtual currency sangat berisiko antara lain karena:
1. Nilai tukar sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble).
2. Potensi untuk digunakan dalam tindakan pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
3. Rentan terhadap serangan siber.

Dengan berbagai kerentanan tersebut, Bank Indonesia melarang semua pihak untuk mentransaksikan mata uang virtual sebagaimana diatur dalam UU No.7/2011 tentang Mata Uang.

Bank sentral juga mengatur langsung melalui Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan PBI No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Semua peraturan tersebut dibuat untuk melindungi dan menjaga stabilitas keuangan dan sistem moneter dari kerentanan seperti dalam mata uang virtual.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads