Mengingat kecilnya luas wilayah dan keterbatasan lahan, maka pembangunan dan pengembangan Kota Banda Aceh ke depan harus mempertimbangkan berbagai langkah strategis demi memenuhi kebutuhan pelayanan sebagai sebuah ibukota provinsi.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, perlu melakukan upaya yang sinergis karena secara spasial sangat dimungkinkan pengembangan Ibukota Provinsi Aceh masuk ke wilayah Aceh Besar, tanpa harus memperluas wilayah administrasi kota.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Wali Kota Banda Aceh pada acara Pemaparan Rencana Pengembangan Ibukota Provinsi Melalui Konsep Greater City (Banda Aceh-Aceh Besar) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI, Kamis (14/12/2017) di Aula Balai Kota Banda Aceh.
Menurutnya, proses pengembangan Ibukota Provinsi Aceh ke wilayah Aceh Besar harus dipandang dan disinergikan dari berbagai aspek, terutama sekali aspek kebijakan penataan ruang kawasan yang di perbatasan wilayah. “Hal ini menyangkut berbagai strategi kebijakan penataan pembangunan pada wilayah perbatasan,” ungkapnya.
“Mendasari hal tersebut, hari ini antara Pemko Banda Aceh dan Pemkab Aceh Besar dengan Pemerintah Aceh, tentu dengan arahan Dirjen Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional akan mengkaji secara bersama-sama kerja sama pembangunan ibukota provinsi dengan konsep Greater City,” ungkapnya lagi.
Pria yang akrab disapa Cek Zainal ini menjelaskan, dengan luas wilayah 59,03 Km2 berdasarkan digitasi Citra Satelit Resolusi Tinggi 2015, luas daratan Banda Aceh hanya 5.903 Hektar, dan ini sangat kecil untuk ukuran sebuah wilayah ibukota provinsi.
“Sementara area yang terbangun sudah mencapai 55 persen dari total luas, dengan sisa lebih kurang 10 persen area air (sungai), yang berarti Banda Aceh hanya memiiki 35 persen area yang belum terbangun. Namun apabila dikurangi dengan peruntukan RTH Perkotaan 20 persen, maka praktis hanya tinggal 15 persen lagi ruang kota dapat dimanfaatkan demi kepentingan pembangunan.”
Hal lain yang menjadi pertimbangan, ungkapnya, dalam RTRW-Nasional Banda Aceh telah dipromosikan peningkatan status dari Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN). “Dan Alhamdulillah, dalam RTRW Nasional yang baru direvisi tahun ini Kota Banda Aceh telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional. Tentu ini merupakan suatu capaian kemajuan secara regulasi tata ruang bagi Ibukota Provinsi Aceh,” ungkapnya.
Sementara itu, Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Abdul Kamarzuki yang hadir khusus untuk acara tersebut mengatakan dalam RPJM 2015-2019, pemerintah pusat memberikan perhatian yang besar bagi Banda Aceh. Salah satunya dengan peningkatan status menjadi Pusat Kegiatan Nasional yang disebutnya membutuhkan infrastruktur dan fasilitas yang memadai seperti bandara, peabuhan, utilitas dan hal-hal lainnya.
“Mengingat area yang tersisa hanya tinggal 15 persen lagi, tentu tidak semua infrastruktur maupun fasilitas bisa dibangun di dalam wilayah administratif Banda Aceh. Oleh karena itu, Banda Aceh perlu berkolaborasi dengan daerah tetangga dalam memperluas konsep pembangunan,” ungkapnya.
Ia pun berharap, seluruh stakeholder dari kedua daerah dapat bekerjasama untuk mewujudkan hal tersebut, dan dukungan dari pemerintah provinsi juga disebutnya sangat penting. “Pemerintah pusat melalui kementerian terkait juga sangat concern mengenai konsep greater city ini seperti yang telah diterapkan untuk Jabodetabek.
“Dengan konsep tersebut, kita tidak membahas mengenai batas administratif wilayah, namun pengembangan pusat-pusat ekonomi termasuk infrastruktur yang pada akhirnya akan saling menguntungkan antar kedua daerah. Pemerintah pusat akan mengawal terus progres pewujudan Greater City Banda Aceh-Aceh Besar ini agar jangan terhenti sampai pada diskusi hari ini saja,” ungkapnya.