Ingatkan Sejarah Konflik Aceh Lewat Pameran

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menggelar pameran tentang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh selama tiga hari (22-24 Maret 2017) di pekarangan Kantor KontraS Aceh di Banda Aceh. Kegiatan itu untuk mengingatkan kembali sejarah konflik yang pernah terjadi di provinsi paling ujung barat Indonesia ini.

Pameran yang digelar bekerja sama dengan beberapa LSM fokus di bidang HAM, mengangkat tema; “Lorong Ingatan 1998-2005, Menguak Kebe­naran Meredam Luka”.

Ada sekitar 120 foto dan kliping pemberitaan media sepanjang konflik 1998-2015 dipamerkan. Selain pa­meran foto, juga ada pemutaran film, diskusi publik tentang memorialisiasi kasus pelanggaran HAM serta doa dan zikir bersama untuk korban konflik.

“Kita mengambil tema “Lorong Ingatan” untuk mengingatkan kita bersama menyangkut sejarah konflik di Aceh,” kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra seraya menam­bahkan foto yang dipamerkan me­nyang­kut kejadian sepanjang 1998-2005, mengingat selama kurun waktu tersebut masih banyak generasi muda saat ini tidak mengetahui konflik sejarah terdahulu.

Selain untuk merawat ingatan bersama, katanya, juga  memberi perhatian kepada pemerintah supaya peduli terhadap konflik masa lalu yang terjadi di Aceh. Apalagi saat ini sudah ada Komisi Kebenaran dan Rekon­siliasi (KKR) Aceh. “Saya berharap bisa merawat KKR, sehingga bisa menyembuhkan konflik di masa lalu,” ungkapnya.

Komisioner KKR Aceh, Afridal Darmi mengatakan, kasus-kasus pe­lang­garan hak asasi manusia pada masa konflik di Aceh dapat menjadi pem­belajaran bagi semua pihak, sehingga ke depan anak-cucu kita tidak lagi merasakan pedihnya konflik seperti dulu. “Kita harus banyak belajar dari pengalaman terdahulu, agar perda­maian ini tetap terjaga,” katanya.

Dijelaskan, perintah mengingat banyak di dalam Alquran, sehingga kita harus selalu mengingat sejarah masa lalu. Kita harus memaafkan pelaku konflik masa lalu, tapi tidak untuk melupakannya.

Dengan adanya pameran ini, diha­rap­kan bisa menjadi sebuah pem­belajaran bagi semua pihak dan tidak menimbulkan konflik baru. Tugas kita saat melihat foto tersebut, tidak memunculkan rasa dendam. Tapi, ingat apa yang bisa diambil menjadi pembelajaran,” ungkapnya.

Sejumlah mahasiswa Prince of Songkhla University Pattani, Thailand yang ikut melihat pameran tersebut, mengaku di Aceh berbeda dengan konflik yang terjadi daerah mereka.

“Bedanya, kalau di Thailand kon­flik­nya menyangkut dengan agama, di Aceh sesama bangsa,” kata Fadilah, salah satu mahasiswi yang saat ini tengah melakukan penelitian di Aceh.

Selain itu, di negeri mereka hingga saat ini belum juga terjadinya perda­maian seperti di Aceh. Karena itu, mereka tetap menginginkan pisah dengan negara Thailand. Analisa

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads