Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar pertemuan dengan Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana di Ruang Rapat Komisi VI DPRA, Kamis (12/01).
Pertemuan itu untuk mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam rangka pencapaian standar minimum dan peningkatan kinerja penanggulangan bencana yang bisa terjadi kapan saja.
Sesuai Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Aceh, susunan organisasi Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) terdiri dari Kepala BPBA yang dijabat Sekretaris Daerah Aceh, Unsur Pengarah BPBA yang terdiri dari Akademisi Praktisi Kebencanaan, dan Unsur Pelaksana yang dipimpin Pejabat SKPA BPBA tersebut.
Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana bertugas memberi masukan dan saran kepada Kepala BPBD (Sekda) dalam hal penanggulangan bencana.
Masukan dan saran tersebut diberikan semenjak bencana tersebut belum terjadi dan saat terjadi bencana. Masukan dan saran ini bukanlah berdasarkan hal ‘gaib’ akan tetapi berdasarkan riset ilmu pengetahuan, pemetaan geospasial, rekam jejak sejarah dan informasi-informasi dari dari luar yang di kolektif sebagai bahan pemikiran bagi Unsur Pengarah BPBA untuk memberi saran pencegahan bencana dan memberi masukan tata cara penanganan bencana yang terjadi.
Ketua Komisi VI DPRA, T. Iskandar Daod, menyebutkan, Unsur pengarah BPBA itu tidak disokong dana yang kuat oleh Pemerintah Aceh, bahkan katanya, unsur Pengarah BPBA belum pernah dilibatkan oleh Kepala BPBA untuk diminta masukan dan saran dalam hal pencegahan dan penanganan bencana di Aceh, dan unsur Pengarah BPBA tidak memiliki anggaran untuk melakukan kajian.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi VI DPRA, T. Iskandar Daod, menyebutkan, Pemerintah Aceh selalu berkutat dengan hal-hal klasik. Pemerintah Aceh menurutnya, harus peduli terhadap bencana, seperti anggaran untuk BPBA sudah selayaknya diberikan mengikuti kebutuhan.
Menurutnya lagi, Anggaran 26 Milyar Rupiah tidaklah cukup untuk melaksanakan tugas BPBA secara menyeluruh. Sangat berbeda dengan anggaran terhadap pembuatan lapangan Golf yang tidak ada dampak signifikan terhadap masyarakat, malah berdampak besar terhadap perubahan lingkungan.
“Stigma Aceh sebagai negeri rawan bencana harus disahuti sungguh-sungguh dengan sikap aceh peduli Bencana” ujar Iskandar.