Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (19/10) siang, mengundang Pemerintah Aceh untuk bersama- sama melakukan kajian terkait ketentuan pada 6 qanun Aceh yang dibatalkan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di ruang rapat Banleg lantai IV gedung DPRA. Hasil kajian akan menjadi pijakan sikap dewan terkait surat keputusan Mendagri tersebut.
“Hasil kajian nanti akan menentukan bagaimana kita bersikap. Setiap perubahan regulasi akibat kebijakan pusat tentu harus segera disikapi, apakah nanti diperlukan langkah- langkah advokasi selanjutnya atau tidak. Sebab dalam pasal 235 UUPA disebutkan pemerintah dapat membatalkan qanun jika bertentangan dengan kepentingan umum, antarqanun, dan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam undang- undang ini. Sedangkan qanun yang terkait dengan syariat Islam hanya dapat dibatalkan dengan uji materi MA,” ungkap Iskandar Usman Al-Farlaky, Ketua Banleg DPRA usai rapat.
Iskandar Al-Farlaky mengatakan, pembatalan sejumlah ketentuan terhadap 6 Qanun Aceh itu berdasarkan surat keputusan Mendagri yang disampaikan ke Pemerintah Aceh dan diteruskan ke DPR Aceh. Dalam pembahasan, pihaknya juga melihat aspek regulasi kekhususan serta keistimewaan yang dimiliki Aceh. “Apakah materi yang dibatalkan bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 atau tidak. Maka, dibutuhkan kajian bersama, dalam hal ini kami mengundang sejumlah tenaga ahli,” sebutnya.
Mantan aktivis ini merincikan, ketentuan yang dibatalkan Mendagri yakni terkait dengan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Retribusi Jasa Umum, Qanun Aceh Nomor 15 tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral , dan Batu Bara. Selanjutnya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Perkebunan, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Adminitrasi Kependudukan, dan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Barang Milik Aceh, dan Qanun Aceh Tentang Irigasi.
“Jadi, semuanya ada 6 qanun yang ketentuan di dalamnya dibatalkan oleh Mendagri melalui surat keputusannya. Paling banyak ketentuan pasal yang dibatalkan terdapat pada Qanun Aceh Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, selanjutnya Qanun Aceh Tentang Perkebunan. Kajiannya kita lakukan pada ketentuan pasal per pasal yang dibatalkan apakah sudah sesuai dengan kekhususan atau tidak. Jika pembatalan oleh Mendagri tidak sesuai dengan regulasi kekhususan Aceh kita akan “lawan”,” ujar politisi Partai Aceh ini.
Iskandar mengungkapkan, dari hasil kajian pihaknya Qanun Aceh Tentang Penyelenggaraan Adminitrasi Kependudukan hanya dua pasal yang dibatalkan dan selanjutnya akan dilakukan perubahan terhadap dua pasal dalam qanun tersebut sesuai dengan perkembangan terbaru terkait KTP seumur hidup.
Sementara terkait Qanun Aceh Tentang Perkebunan pembatalan Mendagri tidak bisa diterima karena konsideran yang di qanun sudah sesuai dengan subtansi MoU dan UUPA. “Dasar hukum untuk pembatalan yang disampaikan Mendagri UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan,” ujarnya.
Iskandar menambahkan, untuk Qanun Aceh Tentang Irigasi akan dicabut dalam Qanun Aceh Tentang Irigasi yang baru dan akan dimasukkan dalam prioritas prolega 2017 mendatang. Untuk sementara, apabila ada hal- hal yang berkenaan dengan irigasi sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2011 tentang Irigasi (khusus ketentuan menindaklanjuti kekhususan dan keistimewaan Aceh), maka pelaksanaanya berpedoman kepada UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan.
”Kalau retribusi jasa umum kita DPRA juga sudah memparipurnakan perubahan qanun dan sedang dievaluasi Kemendagri. Satu yang masih harus dikaji secara teknis oleh Dinas Pertambangan terkait qanun Minerba. Saya sudah minta Biro Hukum Pemerintah Aceh untuk mempercepat supaya dinas terkait bisa membahas karena itu persoalan teknis dan dinas terkait yang paham masalah,” demikian Iskandar Usman Al-Farlaky.