Tim dari negeri jiran Malaysia yang berjumlah 4 orang berkunjung ke Banda Aceh untuk mempelajari penerapan Syariat Islam di ibu kota provinsi Aceh ini.
Mereka disambut oleh asisten II Setdakota Banda Aceh Bidang Keistimewaan, Ekonomi & Pembangunan, Ir Gusmeri MT dan beberapa pejabat SKPD, Rabu (28/09) di Ruang Rapat Walikota.
Rombongan ini terdiri dari mantan anggota parlemen Kerajaan Malaysia era Anwar Ibarahim, Datok Ahmad bin Kasim yang juga berperan sebagai ketua rombongan dan saat ini menjabat sebagai kepala Biro Pemahaman dan Pemantapan Agama Kerajaan Malaysia. Kemudian Dr Hasan Bahrum dari Partai Amanah Negara, serta Mohd Zawawi dan Mohd Muzakki dari Partai Keadilan Rakyat.
Datok Ahmad bin Kasim mengatakan mereka ingin mempelajari bagaimana proses dan tahapan dari awal yang dilakukan pihak terkait di Aceh hingga bisa menerapkan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekah ini.
“Sebagaimana kita tahu bahwa Aceh berada di bawah pemerintahan Republik Indonesia yang bukan merupakan negara Syariah. Nah, bagaimana pihak Aceh mengurus administrasi dan segala hal lain yang berkaitan kepada pemerintah pusat? Dari cara ini nantinya akan kami rintis di Malaysia. Dan apakah ini kehendak masyarakat atau hanya pihak penguasa saja?” kata Datok Ahmad.
Menjawab hal tersebut, Kepala Dinas Syariat Islam(DSI) Kota Banda Aceh, Mairul Hazami mengatakan bahwa perjuangan Syariat Islam di Aceh sudah sangat lama yaitu sejak pertama kali Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sebagai daerah yang berjasa dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia, Aceh meminta syarat kebebasan menerapkan Syariat Islam saat bergabung dengan NKRI. Dan Hal ini disetujui oleh pesiden Soekarno saat itu,” ujar Mairul Hazami.
Namun janji tersebut, lanjut Mairul, tidak terealiasi saat Aceh sudah resmi bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga terjadi beberapa gerakan melawan pemerintah pusat. Perlawanan ini menyebabkan konflik berkepanjangan hingga puluhan tahun di Tanah Rencong ini.
“Setelah perjanjian MoU Helsinki dan disahkan Undang-undang pemerintahan Aceh (UUPA) yang di dalamnya jugat terdapat poin-poin tentang Syariat Islam, baru lah kita benar-benar bisa menerapkan Syariat Islam. Di situ kita bisa merumuskan peraturan daerah yang dinamakan Qanun yang mengatur tentang Syariat Islam, pendidikan dan adat. Namun syariat islam belum sepenuhnya menyentuh segala aspek, kita masih berproses untuk menuju penerapat Syariat Islam yang kaffah,” kata Mairul.
Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Banda Aceh, Drs T Angkasa menjelaskan bahwa saat ini penerapan Syariat Islam telah menyentuh dunia pendidikan. Hal ini diterapkan melalui Pendidikan Diniyah yaitu pemantapan ilmu-ilmu keagamaan di luar pelajaran formal sekolah di setiap sekolah-sekolah dari SD, SMP, dan SMA. Ia mengatakan Pendidikan Diniyah yang telah dimulai sejak tahun 2011 ini berdampak signifikan terhadap siswa-siswi di Kota Banda Aceh.
Sementara itu Ketua Majelis adat Aceh (MAA), Sanusi Husen Islam telah mendarah daging pada masyarakat Aceh sejak dulu. Oleh karena itu, katanya, penerapan Syariat Islam merupakan keinginan rakyat Aceh sangat sejalan dengan adat dan istiadat setempat.
“Saat ulama-ulama dari Arab dan Persia dulu membawa Islam ke sini, saat itu masyarakat Aceh beragama Hindu. Mereka berdakwah tidak menghilangkan budaya-budaya yang sudah ada, namun budaya tersebut diislamisasikan hingga Islam cepat diterima di sini. seperti Peusijuk yang dulunya berisi manta-mantra diganti dengan doa-doa kepada Allah. Jadi agama dan adat sangat melekat erat. Dan setiap pembahasan Qanun-qanun juga melibatkan tokoh-tokoh adat,” imbuh Sanusi.