Rapa’i merupakan alat musik perkusi tradisional Aceh yang dimainkan dengan cara dipukul dengan menggunakan tangan. Rapa’i berperan mengatur tempo, ritmik, tingkahan, gemerincing serta membuat suasana menjadi lebih hidup dan meriah.
Rapai dimainkan secara ensemble yang terdiri dari 8 sampai 12 orang pemain yang disebut awak Rapa’i dan disandingkan dengan instrumen lain seperti Serune Kalee atau Buloh Merindu. Permainan dari ensemble Rapa’i tersebut dapat menjangkau pendengaran dari jarak jauh akibat gema yang dipantulkannya dan tidak memerlukan microphone untuk setiap penampilannya bahkan pada malam hari di daerah pedesaan bisa mencapai pendengaran dari jarak 5 hingga 10 Kilometer .
Dalam beberapa catatan sejarah Rapa’i, alat musik tradisional ini dibawa oleh seorang penyair Islam dari Baghdad bernama Syech Rapi (ada yang menyebut Syech Rifai) dan dimainkan untuk pertama kali di Ibukota Kerajaan Aceh, Banda Khalifah (sekarang Gampong Pandee, Banda Aceh) sekitar abad ke-11. Dalam perkembangannya Rapa’i kemudian menjadi beberapa jenis kesenian tradisional Aceh dengan berbagai ragam dan bentuknya.
Ragam Rapai
1. Rapa’i Daboih (dari bahasa Arab Dabbus), artinya sejenis permainan/pertunjukan ketangkasan yang mempertontonkan kesaktian seorang pemain yang kebal terhadap benda tajam. Awak Daboih /pemain debus dipimpin seorang khalifah yang memiliki ilmu kebal, ahli makrifat besi, sehingga badannya tak mempan tusukan benda tajam, dapat melilitkan rantai besi panas ke leher, badan atau pinggang, menari dalam api (bloh lam apui) dan sebagainya. Rapai yang mengiringi permainan Daboih disebut Rapai’ Daboih.
2. Rapa’i Gerimpheng dimainkan secara duduk, dimulia dengan memberi salam, lalu menjuruskan tangan kedepan, melenggokan badan kesamping kiri dan kana secara serentak kemudian, pukul untuk mengiringi ratoih (lagu).
3. Rapa’i Pulot awalnya dimulai dengan ratoih sebagai salam perkenalan, kemudian dilanjutkan dengan penampilan akrobatik dan keahlian membentuk lingkaran bersambungan antara sesama para pelakunya. Mereka melakukan gerakan-gerakan jungkiran meliuk-liukkan badan, membentuk permainan tali, dan kemahiran senam.
4. Rapa’i Pase (terdapat di Aceh Utara) dengan formasi pemukulnya 30 rapa’i , sedang 15 rapa’i dan formasi kecil 10 atau 12 rapa’i. Selain ukuran rapa’i biasa (Rapa’i Daboih) ditambah lagi dengan ukuran rapa’i besar (Rapa’i Induk/Pase) yang dimainkan harus digantung karena ukurannya yang besai dan sangat berat. Para memukulnya pun harus berdiri, khusus membawakan rithmik saja, tanpa interval nada, dibawakan lagu/syair berbau keagamaan, nasehat, upacara gembira, adat-adat perayaan, sunat Rasul, maulid, dan upacara lain secara Islam. Ada kalanya diadu (ditunangkan) antar group, dengan kriteria penilaian pada tingkahan, irama Rapa’i, bunyi, dan membalas jawaban pantun lawan. Dahulu dimulai malam sampai pagi hari dengan busana adat Aceh.
5. Rapa’i Anak/Tingkah, merupakan rapa’i dengan ukuran sedikit lebih kecil, berfungsi mengadakan tingkahan, karena suaranya lebih nyaring dan mendenting, sehingga tekanan tanda accent/attack (clear beats) lebih jelas kedengarannya.
6. Rapa’i Kisah/Hajat, mengisahkan/menyanyikan sesuai dengan hajat/permintaan yang punya rumah sendiri, lalu Syech Rapa’i bersama-sama dengan pemain lainnya berlagu mengisahkan/mensyairkan seraya diikuti irama tingkahan rapa’i.
Tampilan Rapa’i dari Berbagai Kabupaten/Kota
1. Rapa’i Uroeh Duek, Pusaka Nanggroe dari Kota Lhokseumawe
2. Rapa’i Uroeh Doeng dari Aceh utara
3. Rapa’i Rimpheng dari Kabupaten Bireun
4. Rapa’i Pulot Grimpheng dan Rapai Lagee dari KabupatenPidie
5. Rapa’i Hajat dari Kabupaten Aceh Besar
6. Nandong dan Sikambang dari Kabupaten Simeulu