Dua akademisi internasional mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Rabu (27/7) malam di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh.
Kedua akademisi tersebut, Dr. Razali bin Othman, Pengarah Pusat Islam, Unversiti Putra Malaysia (UPM) dan Prof. Dr. Mustafa Edwin Nasution dari Universitas Indonesia yang juga Anggota MUI Pusat Bidang Wakaf. Kedua akademisi ini datang ke Aceh dalam agenda mengisi seminar wakaf di Fakultas Ekonomi Unsyiah pada Rabu pagi.
Dalam pengajian yang turut dihadiri Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, Dirut BPR Mustaqim Sukamakmur, T. Hanansyah, sejumlah jurnalis, aktivis dan mahasiswa ini, kedua pemateri menjelaskan seputar kekuatan Wakaf dalam mengantarkan umat Islam ke pintu gerbang kejayaan dan kebangkitan.
Dalam paparan materinya, Razali bin Othman mengatakan, Wakaf akan menjadi sumber pembiayaan yang membantu pembangunan Aceh sehingga sudah saatnya potensi wakaf di Aceh dikelola secara sungguh-sungguh dan profesional.
“Wakaf adalah kekuatan luar biasa dalam membangun umat. Dan wakaf bukan hanya sekedar wakaf tanah kubur. Perlu dicatat, Turki Usmani dulu jatuh karena saat itu wakaf sudah mulai berkurang, bahkan ditolak oleh sebagian umat, padahal sebelumnya wakaf menjadi kekuatan utama ekonomi Turki Usmani, “ jelasnya.
Lebih lanjut ia memberi contoh, saat terjadinya perang Arab-Israel, saat itu Mesir yang ikut terlibat perang dengan Israel ikut meminjam uang dari wakaf Universitas Al-Azhar. Disebutkan, sebelum jatuhnya Usmaniyah, seperempat tanah di Turki merupakan tanah wakaf. Bahkan, katanya, pada zaman Khalifah Abubakar, orang yang tidak mau bersedekah akan dipancung.
Disebutkan juga, sekiranya orang yang sudah mati dibangkitkan kembali, maka satu-satunya harapan dia adalah bersedekah. Hal itu karena sedekah, seperi wakaf, sangat membantu di alam kubur nanti.
Sementara Prof. Dr. Mustafa Edwin Nasution menambahkan, kalau wakaf sudah membudaya, riba akan hilang. Pendapat dan kesejahteraan akan datang, berkah akan turun. Ia menjelaskan keuntungan akhirat dengan wakaf ini dengan mengutip hadits Nabi yang menyebutkan, apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amal baiknya, kecuali tiga, yaitu anak yang saleh, ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah. “Jadi, wakaf memiliki potensi luar biasa dalam peningkatan kesejahteraan umat, “ ujarnya.
Selanjutnya, ia menyebutkan, Islam telah membuktikan keberhasilan program wakaf mulai zaman Rasul sampai zaman Khalifah Turki Usmani dimana ekonomi Islam kuat dengan adanya wakaf. Ketika program wakaf ditinggalkan lantas Islam beralih ke sistem Bank Yahudi maka jatuhlah ekonomi Islam.
“Kalau di Indonesia sekarang hanya Aceh yang bisa menggerakkan program wakaf dengan sempurna disamping sudah dipayungi oleh qanun hukum juga disokong oleh fakta sejarah yang ada, “ kata Prof Mustafa menambahkan.
Oleh sebab itu, kata Prof Mustafa, Pemimpin Aceh ke depan diharapkan berani dan tegas mewujudkan program wakaf di seluruh pelosok Aceh, misalnya dengan cara mewajibkan setiap warga Aceh untuk mewakafkan hartanya minimal 1.000 rupiah/hari.
“Rasanya uang sejumlah itu tidaklah banyak tetapi coba jika bisa dikumpulkan setiap hari Rp1.000 dari 4 juta warga Aceh sudah berapa terkumpul?, “ tambahnya lagi.
Sementara itu, terkait wakaf uang tunai, secara hukum, kata Prof Mustafa, tidak sah mewakafkan uang jenis kertas karena memang hakikatnya tidak kekal lagipun nilai zat kertas itu tidak sebanding dengan nilai dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak. Ia membandingkan dengan ukuran kertas yang sama bisa berbeda nilai atau jumlahnya hanya tergantung dengan angka yang dituliskan diatasnya.
“Cuma lantaran kita sudah terlanjur kena tipu dengan sistem keuangan yang dipopulerkan oleh Yahudi/Barat, terpaksa kita anggap darurat dan istighfar banyak-banyak sehingga mau tidak mau kita harus melakukan wakaf tunai/wakaf uang kertas demi kemaslahatan umat Islam abad ini yang bertransaksi dengan uang kertas,” pungkasnya.