Aceh untuk pertama kali mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia terhadap hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Aceh (LKPA) tahun 2015.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) berpendapat bahwa pemberian WTP oleh BPK RI kepada pemerintah baik pusat maupun daerah bukan berarti daerah tersebut bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
“WTP diberikan apabila pemerintah dianggap telah menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi dengan benar atau tertib administrasi. Yang menjadi penilaian BPK RI adalah kesesuaian standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan pada Undang-Undang serta efektifitas pengendalian intern,”ujar Amel, Anggota Badan Pekerja MaTA, Jum’at (29/08).
Menurutnya, dalam melakukan audit, BPK RI sama sekali tidak berorientasi untuk menemukan ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. “Kondisi ini harus dipahami dengan benar oleh publik sehingga tidak salah dalam membuat kesimpulan terhadap capaian suatu daerah ketika sudah meraih opini WTP,”lanjutnya.
Ia menyebutkan, bedasarkan penelusuran MaTA, sejumlah daerah di Indonesia yang mendapatkan Opini WTP dari BPK justru kemudian kepala daerahnya tersandung kasus korupsi.
“Potret ini sebagaimana terjadi di Riau, Palembang, Bangkalan dan Tegal. Ada juga lembaga kementerian yang bernasib sama seperti Kementerian Agama, Kemenpora dan Kementerian ESDM yang mendapatkan opini WTP dari BPK justru menterinya kemudian terjerat kasus korupsi. Sebenarnya hal yang sama juga patut diduga terjadi di Aceh,”ujarnya.
Namun menurut Amel, aparat penegak hukum khususnya KPK belum berani untuk unjuk gigi. Padahal beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah telah mempersilakan KPK untuk mengawasi Aceh agar bebas dari karupsi.
“ MaTA berharap, tidak ada istilah lex specialis untuk memberantas korupsi di Aceh,”pungkas Amel.