Setiap muslim meyakini Allah Swt sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah pencipta dirinya, jagad raya dengan segala isinya, juga pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia.
Sehingga ketika hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak dan beradab melalui setiap ibadah yang dikerjakan seperti halnya shalat.
Demikian disampaikan Tgk. H. Fakhruddin Lahmuddin S.Ag M.Pd, Pimpinan Pondok Pesantren Tgk Chiek Oemardiyan Indrapuri, Aceh Besar saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (25/5) malam.
“Jadi yang harus kita pahami bersama ibadah shalat itu adalah menghadap kepada Allah Swt dengan segala bentuk penghambaan diri dan menyampaikan permohonan. Jangan sampai kita seadanya dan terkesan asal-asalan saat menghadap Sang Maha Kuasa atas segalanya di dunia ini, dalam shalat,” ujar Tgk. Fakhruddin
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh ini menyebutkan, jika mau menghadap atau menemui orang penting seperti pajabat atau yang semacamnya, maka seseorang akan memilih dan mempersiapkan pakaian yang paling baik. Setidak tidaknya memilih pakaian yang paling pantas.
Begitu juga jika mau menghadiri undangan tentulah seseorang memakai pakaian terbaiknya. Namun demikian, masih banyak diantara saudara saudara kita saat ini yang kurang memperhatikan pakaiannya kalau mau shalat, ke masjid, ke rumah Allah, untuk bermunajad kepada-Nya.
Tgk. Fakhruddin mencontohkan, seseorang yang ingin shalat ketika berada di sawah. Usai bekerja ia memakai seadanya di bawah lutut dan di atas pusat, dengan menggunakan handuk kumal di atas bahunya untuk menutupi perut dan badannya.
Secara aturan syariat, maka itu sah karena tertutup aurat. Tapi secara etika dan adab, itu tidak berakhlak saat menghadap Sang Pencipta, dan dengan sendirinya ia tidak menjaga kewibawaan Allah, sehingga Allah pun mengabaikan permohonanya.
“Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan adab-adab tersebut padahal mereka berada dalam shalat untuk menghadap Allah.‎‎ Seperti memakai baju yang kurang patut dikala hendak melakukan shalat,” jelasnya.
Diterangkan, sangat sering diabaikan perjumpaan dengan Allah SWT bersama berpenampilan apa adanya. Ingin menghadap-Nya, meminta rahmat dari-Nya, memohon ampun pada-Nya.
“Tidak sedikit yang mengemukakan “yang utama pakaiannya bersih”. Jika menghadap orang yang terhormat saja seperti gubernur, bupati/walikota kita berpakaian rapi, lalu kenapa kita menghadap
Allah yang menguasai alam semesta ini berpakaian seadanya. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk sekedar menggunakan baju yang menutup aurat, ‎tapi juga memerintahkan kita memperbagus pakaian lebih-lebih kala ke tempat ibadah,” sebutnya.‎
Berpakaian yang baik dan pantas untuk mendatangi tempat shalat dan masjid bukanlah sekedar etika atau sekedar ingin tampil rapi saja. Ketahuilah bahwa ini disyari’atkan. Sesuatu yang disyari’atkan dalam agama kita, maka akan menjadi ibadah dan bernilai di sisi Allah jika dilakukan dengan niat ikhlas dalam rangka melaksanakan perintah-Nya. Jadi jangan diabaikan.
Allah berfirman yang artinya, ”Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. (QS. Al-A’raf: 31). Jadi perintah memakai pakaian yang baik adalah untuk semua shalat yang dilakukan dimanapun termasuk untuk shalat di rumah yang tidak dilihat orang. Ketahuilah bahwa Allah dan Malaikat-Nya pasti melihat.
Fenomena lainnya adalah, ada yang shalat sebatas gerakan dan ucapan, tidak tahu esensi shalat sebagai permohonan doa, dan dengan siapa dia berhadapan.
“Jika demikian, tentu sulit menghadirkan khusyuk.
Khusyuk itu hadirkan niat dan motivasi ingin bertemu dengan Rab, adukan masalah kita kpd-Nya dengan harapan diterima. Hadirkan kefahaman hakikat shalat. Hadirkan kewibawaan Allah dalam shalat,” katanya.
‎‎
Pada pengajian dengan tema, “Akhlak dalam Beribadah” itu, Tgk Fakhruddin yang juga Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry ini turut menjelaskan ibadah sebagai bentuk “Pengabdian kepada Allah” dan tata caranyapun harus sesuai dengan keketatapan Allah SWT.
‎
Pertama, Ikhlas. Setiap amal ibadah tergantung kepada niatnya. Ibadah apapun yang tidak didasari niat ikhlas karena Allah, tidaklah diterima Allah.
Allah SWT berfirman yang artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus (Ihklas). (QS. Al Bayinnah : 5).
Diungkapkannya, sampai-sampai takutnya ibadah tidak ikhlas karena Allah, Umar bin Khattab selalu berdoa kepada Allah agar menjadikan amalnya yang saleh dan selalu ikhlas, tanpa ada kepentingan yang lain, selain Allah.
“Berbeda dengan kita, yang sering amal tidak saleh dan kalaupun ada yang amal baik, sering tidak ikhlas karena Allah. Niat tentu harus kita perbaiki dan sering-sering kita berdoa kepada Allah sehingga pelan-pelan muncul keihklasan,” terangnya.
Kedua, sesuai dengan ajaran Islam. Ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah SWT, Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin disebut menambah-nambah ajaran Islam dan merupakan dosa besar karena sama saja menganggap agama Islam belum sempurna sehingga ia menambah-nambahkannya.
Ketiga, tunduk dan patuh kepada Allah.
Tidak dianggap beradab jika kita kufur nikmat dan tidak mensyukurinya, dan ingkari kebaikan-kebaikan Allah kepada kita selama ini.
“Seorang muslim sadar betul Allah Maha Mengetahui tindak tanduk setiap hambanya, semua dalam jangkauan ilmu Allah. Akan hadirkan bahwa Allah itu berwibawa dalam hidup kita. Maka kita akan malu kalau bermaksiat‎, dan takut langsung kena azab Allah,” terangnya.