Perkembangan arus informasi dan teknologi yang cukup pesat berdampak bagi kelestarian dari adat dan budaya serta kearifan lokal masyarakat. Jika tidak dijaga maka adat dan budaya itu akan punah dengan sendirinya.
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 mengamanahkan kepada Lembaga Wali Nanggroe sebagai pihak untuk menjaga dan melestarikan budaya Aceh.
Hal demikian diungkapkan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haytar pada malam anugerah Wali Nanggroe tahun 2015 di AAC Dayan Dawood Unsyiah Banda Aceh, Rabu (16/12) malam.
Wali menyebutkan, bedasarkan fakta sejarah, Aceh pada dasarnya memiliki pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda hingga datangnya Islam pada 1200 tahun yang lalu, yang disebarkan oleh pedagang, hal ini membuat kepercayaan masyarakat sebelumnya tergerus dan berganti dengan pemahaman yang berazaskan Islam.
Menurutnya, malam pemberian anugerah tersebut dirasakan sangat istimewa dalam catatan sejarah dan kebudayaan Aceh, karena pada malam tersebut bisa diketahui sejauh mana kebudayaan Aceh masih terjaga dan terlestarikan di masayarakat.
Mulai dari masyarakat wilayah Aceh pesisir, pantai barat selatan Aceh, bagian tengah serta masyarakat kepulauan. Melalui penilaian dan pemberian penghargaan itu pihaknya bisa mengtahui daerah mana yang masih komitmen dan konsisten dalam memegang reusam dan adat Aceh
“Budaya Aceh umumnya bersumber dari pemahaman agama, dan kepercayaan orang Aceh,”ujarnya.
Wali Nanggroe mengakui banyak adat dan budaya Aceh yang terancam hilang, ia mencontohkan Aceh memiliki 13 bahasa ibu yang mulai hilang dalam penuturan keseharian masyarakat kita, hal ini disebabkan oleh arus globalisasi dan informasi yang terbuka dan sangat pesat perkembangannya.
”Maka saya apresiasi dengan cara memberikan anugerah kepada pemangku adat atas jasanya selama ini menjaga adat budaya Aceh, sehingga masih tumbuh lestari dalam masyarakat hingga dewasa ini, tidak terpengaruh dengan arus globalisasi,”ujarnya.
Pada kesempatan itu Wali Nanggroe memaparkan, selain punya adat yang kuat Aceh juga memiliki seni budaya, baik dalam bentuk tarian, alat musik, seni kerajinan, dan seni bertutur. ”Demikian pula dalam bentuk seni kerajinan, Aceh sangat mengagumkan, seperti yang kita kenal dengan motif pinto Aceh, dan lain-lain,”lanjutnya.
Disamping itu juga terdapat seni ukir batu seperti yang terlihat pada batu nisan para raja Aceh dan makam-makam tua yang bisa ditemui diseluruh Aceh bahkan hingga ke negeri jiran Malaysia.
“Ini semua adalah khazanah kekayaan dari seni budaya dan perdabaan Aceh yang harus kita jaga dan kita pugar kelestarianya agar tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh,”pungkas Wali.