Proses revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sudah ditunda. Namun sikap politik Anggota DPR RI asal Aceh, Irmawan yang mendukung revisi ini patut dijadikan bahan evaluasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sekretaris Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Aceh, Zulfikar Djamaluddin menyebutkan sikap politik Irmawan tidak menunjukkan aspirasi masyarakat Aceh. Dari 13 Anggota DPR RI yang berasal dari Aceh, hanya Irmawan yang kebakaran jenggot.
“Coba Tanya ke Irmawan, kenapa dia takut sekali dengan KPK? Urgen sekalikah revisi UU KPK? Ada kasus apa yang ditutup-tutupi sehingga upaya melemahkan KPK ini dilakukannya? Ini bukan aspirasi masyarakat Aceh. Ada udang di balik batu,” tukasnya, Senin (19/10/2015).
Sedikitnya terdapat lima pasal krusial yang diakui atau tidak dapat melemahkan fungsi KPK. Zulfikarl menjelaskan, kelima klausul tersebut yakni terdapat pada Pasal 5, Pasal 7 huruf d, Pasal 13 huruf a, b, dan c, Pasal 14 Ayat (1) huruf a, serta Pasal 53 ayat (1). Dari kelima pasal tersebut, DPR RI melalui inisiator revisi UU KPK tidak hanya ingin melemahkan KPK, namun juga ingin membubarkan lembaga antirasuah tersebut.
“Misalnya isi pasal 5 yang mana menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Itu kan semangat pembubaran KPK. Sebagai partai berideologi keislaman yang memang mengharamkan korupsi, sikap Irmawan perlu dipertanyakan. PKB perlu mengevaluasi Irmawan dan memberikan sanksi yang keras,” tuturnya.
Pada dasarnya Zulfikar cukup memaklumi, keputusan Irmawan sebagai Anggota DPR RI untuk mendukung revisi UU KPK sangat beralasan. Selama ini, pengelolaan dana bantuan social (Bansos) tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Akibatnya, mayoritas anggota DPR dihadapkan dengan ketakutan berhadapan dengan KPK.
Konon lagi fakta menunjukkan, hampir 90 persen Bansos di Aceh terindikasi penyelewengan. Pada Tahun 2014, GeRAK Aceh merilis 272 kasus korupsi yang diakibatkan karena pengelolaan Bansos yang tidak sesuai aturan. Sementara itu berdasarkan catatan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Aceh sendiri pada periode 2009-2013, total perkara bantuan social yang tersandung indikasi korupsi mencapai 572 kasus. Dari total pengelolaan dana sebesar Rp 500 miliar, perkiraan kerugiaan negara mencapai Rp 468 miliar lebih.
“Dan saya yakin, actor-aktor potensial yang terindikasi korupsi Bansos selama ini di Aceh mayoritas incumbent yang sekarang sudah di DPR lagi. Apa karena ini atau ada masalah yang lebih spesifik di Aceh Tenggara?” tukas Zulfikar setengah bertanya.
Di lain hal dia berharap, partai-partai berbasis Islam benar-benar harus menjadi contoh motor politik yang ideal bagi masyarakat. Perwujudan ini bisa dilakukan dengan mekanisme pengetatan evaluasi kinerja kader, khususnya yang sudah mendapatkan mandate dari masyarakat untuk duduk di DPR. Partai-partai berideologi Islam tidak boleh membuka celah korupsi dan upaya-upaya pelemahan lembaga antikorupsi di Indonesia.
“Ini yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap PKB, PPP, dan partai Islam lainnya. Akan sangat menarik ketika Muhaimin Iskandar menjadi motor penggerak di PKB dengan mewujudkan mekanisme pengawasan kader yang ideal dan ketat sehingga tidak ada yang berani bermain-main dengan aturan hukum,” tutupnya.