Penyelesaian kasus kerusuhan antar kelompok beda agama yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil beberapa hari lalu, perlu dilakukan rekonsiliasi oleh pemerintah daerah setempat dan Pemerintah Provinsi Aceh.
“Kita sudah menyarankan kepada pemerintah daerah agar melakukan rekonsiliasi dengan cara-cara adat yang berlaku di daerah itu. Tapi tetap dengan tidak melupakan penegakan hukum dan kita harap kepada pihak kepolisian dalam hal ini untuk mengusut kasus ini,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali.
Pernyataan itu disampaikannya saat mengunjungi salah seorang korban luka-luka dalam kerusuhan Aceh Singkil, Uyung (27) yang dirawat di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Minggu (18/10).
Tgk. Faisal Ali yang didampingi Sekretaris PWNU Aceh, Asnawi M. Amin, Ketua PCNU Banda Aceh, Tgk. Rusli Daud dan Pimpinan Dayah Thalibul Huda Bayu Lamcot, Tgk. Hasbi Albayuni menambahkan, dalam pengusutan kasus kerusuhan Aceh Singkil aparat penegak hukum harus berlaku adil.
Jangan hanya yang ditindak itu kepada pihak-pihak yang terlibat melakukan kerusuhan saja, tapi juga harus diusut siapa yang melakukan pendirian rumah ibadah yang tidak punya izin itu, supaya imbang dan adil.
“Siapa yang melakukan penembakan juga harus diusut. Jangan nanti ini polisi bertindak tidak adil.
Hanya diusut pada pihak-pihak yang melakukan pembakaran kemarin, tapi pihak yang menyebabkan terjadinya tidak diusut. Itu tidak adil. Jadi kita harap polisi dalam hal ini mengusutnya secara tuntas dan seadil-adilnya sehingga masyarakat bisa menerima pengusutan kasus Singkil ini,” terang Faisal Ali yang juga Pimpinan Dayah Mahyal ‘Ulum Al-Aziziyah Sibreh ini
Lebih lanjut Faisal Ali juga mengungkapkan, kerusuhan antar kelompok beda agama di Aceh Singkil bukan murni salah masyarakat, tapi salahnya di pemerintah setempat yang tidak serius dan tidak tegas dalam penegakan hukum terhadap rumah-rumah ibadah yang tidak punya izin itu sejak lama.
“Kita desak kepada pemerintah untuk menuntaskan akar masalah yang terjadi di Aceh Singkil. Yang kedua juga bagaimana melakukan rekonsiliasi kembali di tingkat lokal disana, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain,” kata Tgk. Faisal yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh ini.
MPU Aceh sendiri juga sudah membentuk tim untuk turun ke Aceh Singkil bersilaturrahmi dengan masyarakat setempat, dan juga menginstruksikan kepada MPU Aceh Singkil untuk mengirimkan anggota-anggotanya seperti dalam khutbah Jum’at dan mereka menyampaikan pesan-pesan yang bisa menentramkan suasana.
“Tujuan kita kesana mendukung MPU Aceh Singkil dalam rangka memberikan bimbingan dan kesejukan kepada masyarakat kita,” jelasnya.
Insiden pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Desa Suka Makmur Kecamatan Gunung Meriah, kemudian massa bergerak menuju Gereja GKKPD di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Selasa 13 Oktober 2015, yang menyebabkan satu tewas, 4 lainnya terluka.
Samsul (21) warga Desa Buloh Seuma, Kecamatan Suro tewas akibat ditembak senjata yang diduga biasa dipakai menembak babi. Uyung (27) mengalami luka tembak di bahu kanan dan sudah dioperasi, Kamis (15/10). Sesuai hasil CT Scan, peluru menembus paru-paru dan bersarang di rongga dada kanan.
Salman (21), yang dirawat di Rumah Sakit Umum Meuraxa, Banda Aceh dilaporkan kondisinya sudah mulai membaik. Dia terkena tembakan di bagian perut. Sementara Herman (22), yang juga korban yang berasal dari kelompok massa masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Singkil.
Ketua PWNU) Aceh, Tgk. Faisal Ali menyebutkan, terkait sikap toleransi kehidupan antar umat beragama di Aceh Singkil dari dulu sangat harmonis. Selama ini, warga minoritas tak pernah diganggu saat beribadah di rumah ibadah mereka yang memiliki izin.
“Masyarakat di sana (Aceh Singkil) tidak pernah mengganggu rumah ibadah warga minoritas yang mempunyai izin. Kehidupan mereka di sana harmonis,” kata Faisal.
Warga antar umat beragama di Aceh Singkil sudah membuat perjanjian damai soal rumah ibadah pada 1979 silam. Perjanjian itu bukan sekali dibuat. Pada tahun 2001, juga dibuat kesepakatan tentang pendirian rumah ibadah.
Dalam perjanjian itu disepakati, rumah ibadah yang diizinkan berdiri di Aceh Singkil yaitu satu gereja dan empat undung-undung. Berselang 14 tahun kemudian, di sana sudah berdiri sekitar 24 rumah ibadah tanpa melalui proses izin resmi dari pemerintah.
Pendirian rumah ibadah tanpa izin inilah yang kemudian diprotes warga. Mereka tidak mempermasalahkan satu gereja dan empat undung-undung resmi.
Dalam sebulan terakhir, masyakarat Aceh Singkil semakin sering menggelar protes melalui unjuk rasa. Setelah berulang kali diprotes, baru pada Senin 12 Oktober lalu, pemerintah menggelar pertemuan dengan sejumlah unsur termasuk forum kerukunan umat beragama dan menyepakati membongkar 10 rumah ibadah illegal. Sisanya, diminta agar segera diurus izin.
Tapi ada sekelompok massa yang tidak setuju batas waktu yang berikan pemerintah. Mereka meminta agar rumah ibadah itu dibongkar pada Selasa (13/10). Namun karena dianggap permintaan mereka tidak didengar, mereka akhirnya nekat membongkar sendiri. Aksi mereka ternyata mendapat perlawanan dari kelompok lain sehingga terjadi bentrokan yang berujung pada pembakaran sebuah gereja ilegal.