Ketua DPR Aceh Heran Ada LSM Diluar Aceh Campuri Kewenangan Aceh

Ketua DPR Aceh Muharuddin mengaku heran jika ada kelompok sipil luar Aceh yang ingin mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan bentuk kewenangan dan kekhususan Aceh.

Hal ini dikatakan Muhar menanggapi pihak sipil di luar Aceh yang Akan menggugat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

“Yang perlu digarisbawahi adalah Qanun Hukum Jinayat ini hanya berlaku untuk orang Muslim karena mayoritas penduduk Aceh beragama Islam. Lagipula sistem penerapannya juga tidak pernah merugikan warga Aceh yang non-Muslim, bahkan mereka (non Muslim-red) merasa nyaman tinggal di Aceh,” ujar Tgk Muhar saat melakukan kunjungan ke wilayah Aceh Utara, Sabtu, 03 Oktober 2015.

Politisi Partai Aceh ini menjelaskan, pemberlakuan Qanun Aceh No tahun 2014 tentang Hukum Jinayat ini setelah dilakukannya pembahasan panjang antar tim pemerintah Aceh dan DPRA, SKPA terkait serta tenaga ahli. Pasalnya, kata Tgk Muhar lagi, apabila qanun ini dilakukan yudicial reviuew maka masyarakat aceh akan tersakiti dan akan meriang serta tdk tertutup kemungkinan akan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

“Adapun tenaga ahli itu terdiri dari  Pengadilan Tinggi, teungku-teungku ataupun ulama dari pesantren serta berbagai unsur lapisan masyarakat sehingga semua elemen di Aceh setuju kalau Qanun ini berlaku dan diterapkan di Aceh,” ujarnya lagi.

Tgk Muhar juga berharap bila ada elemen masyarakat yang mau menaruh keberatan dan akan melakukan Yujidial Review diharuskan berdiskusi dulu dengan pemerintah baik tingkat legislatif maupun eksekutif.

“Inilah sebuah terobosan positif sehingga nantinya pihak eksektif maupun legislative mendapat masukan akan makna hakiki agar Qanun tersebut dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat di bumi Syariat Islam ini yang melaksanakan otonomi khusus,” ujarnya lagi.

Diberitakan sebelumnya, organisasi masyarakat sipil siapkan upaya hukum judicial review terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono beberapa hal menjadi pertentangan antara Qanun Jinayat dan kerangka hukum nasional Indonesia, termasuk konstitusi dan beberapa ketentuan Internasional yang sudah positif berlaku di Indonesia yakni: Pertama, mengenai perumusan norma pidananya, yang berpotensi menyasar kelompok rentan yakni: perempuan, anak dan LGBT.

“Seharusnya kehadiran Qanun Aceh 6/2014 adalah untuk upaya mengisi kekosongan ketentuan pada KUHP namun dengan tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya, akan tetapi Qanun telah menghadirkan aturan baru yang berbenturan dengan KUHP,” kata Supriyadi

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads