Aceh Kian Terpuruk, Ini Penyebabnya

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh yang bebe­rapa triwulan terak­hir terus mengalami keterpuru­kan, seperti diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat, disebab­kan oleh kebijakan politik angga­ran yang salah dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

“Terjadinya kontraksi ekonomi Aceh yang sangat parah ini disebab­kan beberapa faktor. Yang paling mendasar menurut saya adalah akibat kebijakan politik anggaran (APBA) yang masih keliru, di samping juga karena lambatnya pengesahan anggaran setiap tahun­nya, sehingga berimbas pada lam­bat­nya implementasi program/proyek yang berujung pada kecilnya daya serap anggaran pembangu­nan,” ujar Pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Rus­tam Effendi, SE, M.Econ kepada wartawan, Rabu (6/5).

Menurutnya, pertumbuhan eko­no­mi Aceh pada Triwulan I-2015 dibanding kondisi Triwulan-IV 2014 (q-to-q) mengalami kontraksi yang sangat memprihatinkan. Pada Triwulan I-2015, ekonomi Aceh tumbuh negatif 0,52 persen (tanpa migas) dan negatif 2,83 (migas). Kontraksi ekonomi Aceh terjadi hampir di semua lapangan usaha. Hanya pertanian, kehutanan dan perikanan, jasa keuangan, dan real estate, yang terlihat tumbuh positif, tapi itupun sangat rendah (rata-rata dibawah 2,0 persen).

Rustam menyebutkan, kebijakan politik anggaran Aceh yang keliru dapat dilihat dari masih tetap minim­nya belanja modal dalam bentuk misalnya, pengadaan barang berupa mesin/peralatan atau bentuk inves­tasi lainnya yang dapat mening­katkan kapasitas produksi di daerah.

Dengan politik anggaran yang selalu tidak ada perbaikan setiap tahunnya, maka output (keluaran) yang dapat dihasilkan oleh hampir seluruh lapangan usaha ekonomi yang ada sangat  terbatas. Akibat­nya, anggaran menjadi tidak pro­duk­tif, tetapi lebih banyak untuk hal-hal yang konsumtif.

Hal ini secara kasat mata dapat dilihat dari pembentukan modal tetap bruto sebagai cerminan inves­tasi yang tidak bergerak sama sekali dan mengalami pertumbuhan nega­tif pada Triwulan I sebesar -2,41 persen (q-to-q) dan juga sebesar -0,43 persen ( y-on-y).

Ditambahkannya, kebijakan dan keterlambatan pengesahan anggaran juga berimplikasi buruk terhadap pergerakan sektor riil di hampir semua lapangan usaha. Misalnya lapa­ngan usaha pertanian yang memiliki kontribusi terhadap PDRB sebesar hampir 29,0 persen pun ternyata tumbuh lambat pada Triwu­lan I ini, yaitu hanya 1,96 persen, jauh dari angka yang ideal.

Bahkan, lanjutnya, industri pe­ngo­lahan terlihat masih tetap tum­buh minus (-2,57 persen), sehingga kurang menopang capaian pertum­buhan ekonomi daerah. Sementara lapangan usaha real estate yang tumbuh sebesar 1,92 prsen lebih dipe­rani oleh dunia usaha, yang tentunya kurang kaitannya dengan anggaran pemerintah.

“Lambatnya implementasi program/proyek pembangunan juga berpengaruh nyata pada menurun­nya daya beli masyarakat, termasuk berkurangnya konsumsi pemerintah itu sendiri. Padahal kontribusi keduanya sangat dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sela­ma ini. Hal ini ditun­jukkan oleh berkurangnya penge­luaran konsum­si masyarakat sebesar -0,76 persen, sementara penge­luaran konsumsi pemerintah menurun lebih besar lagi yaitu -39,42 persen,” ungkapnya.

Daya Dorong

Di sisi lain, Rustam menyebut­kan, pertumbuhan ekonomi Aceh yang mengalami kontraksi parah pada triwulan I ini juga dikarenakan tidak adanya daya dorong dari ekspor Aceh, sebaliknya impor meningkat dalam jumlah yang sangat signifikan. Ekspor mengala­mi kontraksi minus 67,06 persen, sedangkan impor meningkat 51,74 persen dalam tempo yang sama.

Ini menunjukkan bahwa ekonomi daerah ini tidak mampu meman­faat­kan pasar global untuk mem­perkuat fondasi ekonominya, seba­lik­nya menjadi sasaran empuk pro­duk-produk luar negeri (pasar global). “Dari kenyataan ini, peran dari Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), seperti dinas atau badan terkait, tidak terlihat sama sekali dalam upaya menunjang ekspor daerah,” ungkap Rustam.

Dosen senior Fakultas Ekonomi Unsyiah ini memberikan beberapa alternatif strategi sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut.

Pertama, Pemerintah Aceh harus menata kembali strategi pembangu­nan ekonomi, khususnya melalui pembuatan peta jalan (road map) pembangunan ekonomi yang lebih kongkret, jelas dan terarah agar pembangunan ekonomi dapat berja­lan pada “track” yang benar.

Kedua, SKPA yang menaungi bidang ekonomi sebaiknya diarah­kan agar lebih fokus bergerak sesuai peta jalan yang dibuat.

Ketiga, gubernur harus bersikap tegas terhadap kepala SKPA yang terkait tugasnya dengan bidang ekonomi dan tidak berkemampuan dalam mengelola tupoksinya dan tidak berkomitmen untuk berjalan sesuai arahan yang telah ada.

Keempat, perlu dibangun komit­men yang jelas antara eksekutif (gubernur dan perangkatnya) de­ngan legislatif (DPRA) dalam hal kebija­kan politik anggaran yang lebih memperhatikan kepentingan Aceh dalam jangka panjang, teru­tama mengantisipasi berakhirnya dana dari sumber otonomi khusus (Otsus).

Kelima, pihak eksekutif dan legis­latif harus menghindari kebia­saan plot (alokasi) anggaran untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif dan menge­jar kepentingan jangka pen­dek, serta tidak memecah/membagi anggaran dalam jumlah-jumlah kecil dan kurang bermanfaat dalam mendo­rong pertumbuhan ekonomi daerah.

Keenam, memprioritaskn pem­ba­ngunan industri pengolahan guna mengantisipasi angka penganggu­ran yang masih tinggi (175 ribu orang pada Februari 2015) dan terba­tasnya lapangan pekerjaan yang tersedia selama ini. (Analisa)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads