Pemblokiran Situs-Situs Dianggap Hidupkan Kembali Orde Baru

Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Yhannu Setyawan menganggap pemblokiran situs-situs yang dianggap radikal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak sesuai prinsip demokrasi. Pasalnya, pemblokiran tersebut dilakukan tanpa adanya penjelasan kepada publik, maupun peringatan lebih dulu kepada pengelola situs.

“Kalau dilihat dari luar, proses pengambilan keputusan untuk memblokir situs-situs tersebut cenderung dilakukan secara tertutup,” ujar Yhannu dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Selasa (31/3/2015).

Menurut Yhannu, Kemenkominfo seharusnya menjelaskan kepada publik secara jelas dan transparan tentang bagaimana sesungguhnya mekanisme atau prosedur yang berlaku dalam menutup sebuah situs yang dianggap membahayakan. Menurut Yhannu, sejauh ini hal itu belum tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.

Yhannu mengatakan, publik berhak mengetahui hal-hal apa saja yang mendasari setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah, baik secara yuridis, sosiologis, maupun menyangkut hal-hal lainnya. Menurut dia, hal itu sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik.

Selain itu, Yhannu mengatakan, pemblokiran situs yang dilakukan seharusnya didahului tindakan-tindakan pendahuluan yang lazim seperti peringatan, klarifikasi, atau lainnya. Jika tidak, maka hal tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk tindakan represif, sepihak layaknya era Orde Baru.

“Kita ini sedang gencar-gencarnya membangun demokrasi yang sehat, bukan malah menghidupkan lagi model pemerintahan yang otoriter seperti Orde Baru,” kata Yhannu.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, saat ditemui Senin (30/3/2015),  membenarkan adanya pemblokiran situs-situs yang menyebarkan paham radikalisme. Pemblokiran dilakukan atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ia mengatakan, apabila permintaan disampaikan langsung oleh BNPT maka hampir pasti situs-situs itu terkait dengan radikalisme dan terorisme.(kompas)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads