Kerugian Negara Akibat Korupsi di Aceh Tahun 2014 Ditaksir Mencapai 673 Milyar

Sepanjang 2014, aparat penegak hukum yang terdiri dari Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 87 kasus korupsi yang terjadi di Aceh. Total kerugian negara dari kasus yang ditangani mencapai Rp 673,5 miliar lebih.

Kasus-kasus yang ditangani sepanjang 2014 tersebut merupakan kasus korupsi yang terjadi mulai 2003-2014.

Hal itu berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dengan melakukan pengumpulan data-data, baik informasi yang diperoleh dari kejaksaan dan kepolisian mulai tingkat kabupaten/kota maupun provinsi , serta informasi dikumpulkan melalui media massa.

“Data itu lalu dikompilasi dan menganalisa temuan atau kasus tersebut berdasarkan sektor korupsi, wilayah, dan aktor. Tahapan selanjutnya adalah melakukan kampanye dan rekomendasi atas analisa hasil temuan kepada publik dan penegak hukum,” kata Koordinator Monitoring Peradilan MaTA, Baihaqi, dalam konferensi pers di kantor MaTA, Banda Aceh, Rabu (28/1).

Baihaqi merincikan, kasus korupsi di Aceh yang ditangani aparat penegak hukum sepanjang 2014 berjumlah 87 kasus dari 23 kabupaten/kota dan provinsi. Aceh Tenggara yang paling banyak ditangani dengan delapan kasus, disusul Aceh Utara dan Bireuen tujuh kasus, serta Lhokseumawe enam kasus. “Sedangkan yang paling minim ditangani di Aceh Jaya dan Langsa, yaitu satu kasus,” tuturnya seraya menambahkan, dari 87 kasus tersebut, 62 kasus yang ditangani kejaksaan, 24 oleh kepolisian dan satu kasus ditangani KPK.

Adapun kasus yang sudah divonis baik di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) maupun Pengadilan Tinggi sebanyak 22 kasus. Sedangkan 63 kasus masih dalam proses penyelidikan, penyidikan oleh aparat hukum, dan dua kasus telah dihentikan melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Diungkapkan juga, jumlah oknum yang terlibat berdasarkan institusi mencapai 154 orang. Mereka adalah sebanyak 76 orang di jajaran eksekutif, swasta 57 orang, BUMD 6 orang, lembaga pendidikan 10 orang, BUMN 3 orang dan pemerintahan desa dua orang. Ini belum termasuk 26 kasus yang belum ditetapkan tersangkanya.

Dalam 87 kasus yang ditangani penegak hukum, kerugian negara tercatat mencapai Rp 673,5 miliar lebih. Ini belum termasuk 37 kasus yang belum diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan dua kasus dihentikan melalui penerbitan SP3.

Berdasarkan total kerugian negara tersebut, Kota Sabang menempati urutan pertama, yaitu sejumlah Rp 314,2 miliar dengan empat kasus indikasi korupsi, disusul Aceh Tenggara sebesar Rp 208,3 miliar dengan empat kasus yang telah diaudit.

Adapun kerugian negara berdasarkan sektor, yang paling utama adalah infrastruktur senilai Rp 513,4 miliar dengan 27 kasus, disusul anggaran daerah senilai Rp 125,2 miliar dengan 23 kasus.

Kemudian, kasus yang sudah diaudit BPKP berdasarkan tiap daerah di Aceh sebanyak 48 kasus. Sedangkan yang belum diaudit sebanyak 39 kasus, termasuk dua kasus yang sudah mengantungi SP3.

berdasarkan hasil penelitian, terdapat Sembilan jenis modus korupsi yang kerap muncul. Namun, ada 14 kasus yang belum diketahui modusnya karena baru ditangani aparat penegak hukum.

Baihaqi menambahkan, sumber anggaran yang paling dominan dikorupsi dari kasus yang ditangani serta kerugian negara adalah anggaran pendapatan dan belanja kabupaten/kota (APBK) dengan 34 kasus senilai Rp 133,9 miliar, disusul anggaran negara (APBN) sebanyak 21 kasus senilai Rp 507,1 miliar dan anggaran Aceh (APBA) sebanyak 19 kasus senilai Rp2 8,8 miliar.

Dalam hal ini, MaTA meminta penegak hukum di Aceh segera memproses hukum tindak pidana korupsi tersebut mengingat banyak kasus yang belum selesai diproses. Selain itu, perlu ditingkatkan koordinasi antara penegak hukum dengan BPKP dan BPK dalam menghitung indikasi kerugian negara karena ada beberapa kasus yang belum dihitung kerugiannya.

Kemudian, untuk setiap kasus indikasi korupsi yang akan diajukan ke PN Tipikor oleh penegak hukum, diharapkan menyertakan hasil audit BPKP dan BPK.

Jajaran eksekutif dan legislatif baik provinsi maupun kabupaten/kota harus meningkatkan pengawasan anggaran karena berdasarkan modus operandi, banyak terjadi penyimpangan anggaran.(analisa)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads