Fakta : Menteri Pertanian Kurang Bijak

Kunjungan kerja Menteri Pertanian Republik Indonesia Andi Amran Sulaiman,   ke Aceh, Selasa (9/12) kemarin, selain membawa angin segar bagi pengembangan sektor pertanian di Aceh juga menuai kritik.

Koordinator Badan Pekerja Forum Anti-Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA) Indra P Keumala menilai sejumlah komitmen dan langkah kerja yang dipaparkan Andi Amran untuk mewujudkan swasembada pangan Aceh tanpa dilandasi dengan upaya evaluasi secara konfrehensif terhadap program yang berjalan sebelumnya adalah tindakan kurang bijak.

“Apalagi program sektor pertanian yang selama ini dijalankan di Aceh dengan dukungan anggaran yang lumayan besar, kenyataannya tidak menghasilkan apa-apa. Ada banyak persoalan, dan hal itu harus terlebih dahulu dilakukan evaluasi,” ujar Indra P Keumala, Kamis (11/12) di Banda Aceh.

Dikatakannya, dalam 10 tahun terakhir pengembangan sektor pertanian di Aceh selalu mengalami tren stagnasi bahkan terjadi penurunan grafik.

Sayangnya hal itu justeru terjadi di tengah situasi anggaran yang setiap tahunnya terus meningkat.

“Berdasarkan data yang ada, realitas itu tidak cuma terjadi di Aceh, tapi di seluruh Indonesia. Kesimpulan kami, banyak masalah terhadap pelaksanaan program pengembangan pangan dan atau pemberdayaan petani yang selama ini berjalan. Hal ini harus dikaji secara mendalam, dipecahkan, lalu dicarikan solusinya,” tegasnya.

Indra mengungkapkan, sistim dan manajemen program sektor pertanian yang diwariskan pemerintahan sebelumnya memiliki ketimpangan di sana-sini. Misalnya saja, pola realisasi kegiatan bantuan sosial (bansos) Kementerian Pertanian untuk kegiatan pengembangan areal tanam padi dan kedelai yang alokasi dana pertahunnya untuk Aceh mencapai ratusan miliar bersumber dari APBN.

Indra menyebutkan, tidak berjalannya tata kelola keirigasian yang mampu mendukung program sektor pertanian menjadi masalah besar lainnya yang juga harus di-atasi. Selain itu, ungkapnya lagi, program cetak sawah (rakyat) baru yang dicanangkan hampir di seluruh Aceh juga memiliki persoalan tersendiri dan harus dievaluasi.

“Dana besar tidak menjamin bahwa program akan berjalan ideal. Hal itu dapat diukur dengan pencapaian yang terjadi selama ini, dimana dari statistik yang ada, angka produksi pertanian di Aceh bahkan di Indonesia selalu mengalami penurunan,” terangnya.

Disebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2011, hampir 60 persen penduduk miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Situasi kemiskinan tersebut menjadi wajar jika melihat tren Nilai Tukar Petani (NTP) selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2005, NTP tercatat sebesar 101,15, angka ini berubah menjadi 101,85 pada tahun 2014.

“Artinya, dalam kurun 10 tahun, kesejahteraan petani hanya berubah 0,70 persen,” ketusnya.

Padahal, lanjut Indra, selama sepuluh tahun itu pula anggaran sektor pertanian mengalami tren peningkatan. Sebagai gambaran, tahun 2004 anggaran pertanian hanya Rp4,5 triliun, kemudian di tahun 2006 naik Rp 6,5 triliun, Rp 7,2 triliun di tahun 2007 dan Rp 7,6 triliun di tahun 2009. Tahun 2010 menjadi Rp 8 triliun, meningkatkan menjadi Rp 17,7 triliun di tahun 2011 dan 2012, lalu turun di tahun 2013 hanya Rp 16,5 triliun. Bahkan di tahun 2014 ini, Kementerian Pertanian ketiban alokasi mencapai Rp 22 triliun.

“Hasilnya apa? Target swasembada sama sekali tak terlihat, target petani sejahtera pun nol besar. Untuk itu, kami berharap agar Menteri Pertanian di era Presiden Jokowi ini benar-benar bekerja bukan cuma sekedar datang ke daerah lalu bicara manis dengan janji-janji dukungan anggaran, sementara program justeru dibiarkan tanpa pembenahan,” tutupnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads