Kota Banda Aceh menjadi piloct project kota inklusif yang ramah bagi penyandang difabel. Hal itu dikemukakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif , Mari Elka Pangestu pada Diskusi Publik Mendorong Implementasi Fasilitas Insfrastruktur dan Transportasi Publik yang Ramah bagi Penyandang Disabilitas yang digelar di Auditorium Gedung Sapta Pesona, Kemenparekraf, Jakarta, Sabtu (11/10).
Mari Elka Pangestu menyebutkan setelah mengikuti diskusi publik tersbut, dia menilai tingkat kesadaran naik 1000 persen. Menurutnya ini benar-benar inspirasiweekend, bukan sekedar sharing tetapi hasil diskusi publik ini akan ditindaklanjuti ke pemerintahan yang baru.
Sebut Menteri yang juga Pembina Eisenhower Fellowships Indonesia, adar tiga usul yang akan disampaikan, pertama melakukan advokasi network, kemudian memberi dukungan transportasi yang ramah bagi kaum difabel seperti antaranya memberi diskon khusus pengiriman kursi roda, dan terakhir menjadikan Kota Banda Aceh sebagai piloct project kota inklusif yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Kepada wartawan, Mari Elka Pangestu mengatakan, Banda Aceh telah memberi contoh bagaimana kota ini terus melakukan perbaikan rencana pembangunan jangka panjang maupun menengah dengan menjadikan kotanya sebagai kota yang ramah bagi semua warganya termasuk kaum difabel.
“Walikota Banda Aceh sudah bersedia untuk menjadi piloct project, membuat kotanya nyaman bagi semua warganya termasuk penyadang difabel.Ini sudah dilakukan sejak pasca tsunami dengan pembangunan infrastruktur yang mendukung dan terus melakukan perbaikan. Kita akan mendorong DKI melakukan hal yang sama, karena DKI ibukota Indonesia,” kata Mari Elka Pangestu.
Sementara itu, Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal yang menjadi pembicara pada diskusi tersebut memaparkan, banyak program yang telah dilakukan pemerintahannya baik sejak dia menjadi wakil walikota hingga menjadi walikota pada Juni 2014 menggantikan Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin yang meninggal dunia karena sakit yang dideritanya.
Sebut Illiza, sejak 2007 lalu, dia yang saat itu menjabat sebagai wakil walikota bersama almarhum Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin berkomitmen melibatkan perempuan dan kaum difabel dalam pembangunan. Begitupun di dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh, Pemerintah Kota merancang pembangunan infrastruktur yang aman dan nyaman bagi penyandang difabel.
“Bukan itu saja, kami juga telah membuat rancangan qanun (Perda) Kota Ramah Gender yang di dalamnya juga mengokomodir segala kebutuahan difabel. Sejak 2010, rancangan qanun sudah diserahkan ke legislatif, namun hingga masa jabatan dewan berakhir rancangan qanun itu belum juga disahkan. Saya akan terus berjuang hingga rancangan qanun tersebut disahkan,” tutur Illiza.
Sebut Illiza, tercatat ada sekira 632 penyandang difabel di Banda Aceh dari jumlah penduduk pada 2013 (data BPS Kota Banda Aceh) mencapai 249.282 jiwa. Adapun, beberapa program yang saat ini tengah dijalankan menjadikan Banda Aceh sebagai kota yang ramah dan inklusif antara lain dengan menyediakan fasilitas kesehatan gratis bagi para penyandang disabilitas yang tidak mampu.
Memberikan bantuan sebesar Rp2,5 juta/ tahun bagi tuna netra. Menyediakan lantai bawah rumah susun (Rusunawa) untuk penyandang disabilitas, agar akses mereka lebih mudah. Membangun ram pada bandara, rumah sakit, Balaikota, sehingga bisa dilewati kursi roda. Membangun kantor bersama bagi penyadang disabilitas.
“Saya sadar betul masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kami perlu masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan kota kami sehingga menjadi kota yang benar-benar nyaman bagi semua warganya tanpa diskiriminasi,” kata Illiza.