Penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh haruslah benar-benar didukung penuh oleh masyarakat setempat, sehingga dapat berjalan secara maksimal dan menyeluruh (kaffah) dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari.
Agar penerapan syariat Islam ini dapat terlaksana maka masyarakat itu sendiri harus disiapkan dengan baik, agar mereka menerima pelaksanaan syariat Islam itu sendiri dengan penuh keikhlasan dan kesadaran sendiri.
Demikian ditegaskan Ulama Mesir dan ahli fiqh dari Universitas Al-Azhar Kairo, Syeikh Abu Mu’adz Muhammed Abdul Hayy Uwainah Al-Mishry, saat mengisi ceramah peringatan Israk dan Mikraj Nabi Muhammad SAW 1435 H yang digelar Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (28/5) malam.
Menurutnya, penerapan syariat Islam secara menyeluruh di Aceh masih saja menemui hambatan di sana-sini baik di tengah masyarakat, maupun di pemerintahan sendiri. Dia menilai, meskipun syariat Islam dan hukum-hukumnya sudah diberlakukan sejak tahun 2002, masyarakat Aceh sepertinya belum sepenuhnya siap menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya.
“Ketika kita ingin menerapkan syariat Islam, maka terlebih dahulu kita harus mempersiapkan masyarakat yang baik. Jika tidak mereka akan melawannya karena tidak siap, meskipun syariat Islam itu suatu keharusan yang wajib dijalankan oleh umat Islam,” tegas Syeikh Abu Mu’adz.
Diungkapkan, ketidaksiapan masyarakat seperti ini pernah terjadi di beberapa negara Islam Timur Tengah seperti Mesir, Aljazair, Libya, dan bahkan hampir sebagian negara Islam lainnya. Kondisi itu diperparah dengan adanya kelompok liberal, sekuler dan orentalis yang berupaya ingin melawan penerapan syariat Islam. “Hampir mayoritas kaum muslimin masih berfikir, tidak perlu penerapan syariat Islam dalam hidupnya, karena mereka tidak pernah dipersiapkan untuk itu,” ujarnya.
Namun, jika masyarakatnya sudah dipersiapkan dengan baik kesadaran akan pentingnya syariat Islam, menurutnya masyarakat tidak akan termakan sedikit pun dengan hasutan dan propaganda dari kelompok-kelompok sekuler dan liberal yang tidak senang dengan Islam.
Dengan Senang Hati
“Kita menginginkan syariat Islam itu dengan senang hati. Maka penerapan syariat Islam akan sukses ketika semua masyarakat mau melaksanakan syariat Islam sebagai tujuan,” ungkapnya.
Dalam penyampaian ceramah yang diterjemahkan oleh Ustaz Muakhir Zakaria, Syeikh Abu Mu’adz mengatakan, penyiapan masyarakat lebih penting. Dia mencontohkan, di Uni Emira Arab (UEA) yang beribukota Dubai, saat azan berkumandang seluruh kegiatan dihentikan, penjaga kedai langsung ke masjid, kedainya ditinggalkan terbuka dengan tanda seutas tali. Tidak ada barang yang hilang di sana, tidak perlu dijaga.
Syeikh Abu Mu’adz membandingkan UEA dengan Arab Saudi, manakala azan berkumandang, pemilik kedai di negara haramain pun langsung ke masjid, kedai dibiarkan terbuka, tetapi ada polisi yang menjaga kedai-kedai itu. Dalam hal ini, kata dia, masyarakat UEA telah siap sendiri dengan Islam padahal tidak ada aturan tertulis dari pemerintah tentang itu.
“Kerelaan masyarakat sendiri jauh lebih penting daripada aturan atau regulasi pemerintah. Ini hanya bisa diperbuat jika Aceh memiliki juru dakwah yang handal yang ikhlas menyerukan dan menegakkan Islam di wilayah Aceh,” katanya.
Dia mengatakan orang yang terlibat dalam proses penerapan syariat Islam, senjata utama mereka adalah cinta hal-hal yang baik dan berakhlak yang baik pula.
Untuk mempersiapkan masyarakat yang bersyariat, Syeikh Abu Mu’adz menawarkan beberapa strategi, seperti mempersiapkan da’i handal, membentuk lembaga pemerintah yang akan memantau dan mengevaluasi penerapan syariat Islam, pemantau harus turun dan berbaur langsung kekelompok masyarakat dan membuat perlombaan ilmiah, dan penelitian tentang keislaman bagi masyarakat.
Selain itu, media dan institut atau lembaga agama Islam juga memainkan peranan penting dalam menyukseskan penerapan syariat Islam di Aceh. “Yang terpenting dalam menjalan program ini adanya lembaga yang peka terhadap syariat Islam dengan dana yang cukup,” jelas Syeikh Abu Mu’adz yang didatangkan ke Aceh oleh Dayah Darul Ihsan Krueng Kale, Aceh Besar.
Dia mengatakan, persiapan da’i akan berjalan sukses jika pemerintah menentukan tujuan dari pembentukan da’i tersebut. Itu sebabnya, hal yang penting diperhatikan adalah melakukan perekrutan para da’i dengan ketat dan akurat. Selain itu, para da’i harus dari berbagai disiplin ilmu, serta setiap da’i harus mempersiapkan statistik berbagai kajian dan penelitian.
Syeikh Abu Mu’adz menambahkan, peristiwa terjadinya Israk Mikraj adalah titik awal lahirnya sejarah Islam. Dalam proses ini Nabi Muhammad Saw telah membawa kado besar dari langit untuk diberikan kepada umatnya yaitu salat. “Maka Rasul diundang oleh Allah untuk menerima hadiah berupa salat, setiap hal yang diwajibkan dalam Islam, semuanya terkandung dalam perbuatan salat,” katanya.
Selama ini, ujarnya, banyak orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang Islami. Bahkan dinilai ada yang berani menggantinya dengan perbuatan yang menyimpang dari agama. Misalnya, kata Abu Mu’adz, meninggalkan belajar huruf-huruf Arab bagi anak-anak sehingga lupa dengan Alquran. “Akibatnya lahir generasi yang tidak paham Alquran,” jelasnya. (analisa)