Penerapan Qanun Hukum Jinayat Berlaku Untuk Semua Orang di Aceh

Penerapan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, yaitu sanksi hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh, diberlakukan bagi setiap orang yang berada di provinsi itu.

Aturan hukum tersebut dilaksanakan tanpa memandang agama, daerah maupun kewarganegaraan baik dia orang Islam maupun non muslim, juga harus diproses sesuai hukum tersebut jika dia terbukti melanggar syariat Islam.

Demikian disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Tarmizi SH MH, ketika mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dengan tema “Peran dan Kewenangan Kejaksaan dalam Pelaksanaan Qanun Hukum Acara Jinayat”, di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (16/4) malam.

Selain diikuti kalangan wartawan anggota KWPSI, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum lainnya, turut juga hadir Anggota Komisi III DPR-RI asal Aceh, M Nasir Djamil, Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Aceh, M Ravik SH dan para koordinator di lingkungan Kejati setempat.

“Di dalam Qanun tentang Hukum Jinayat itu, sangat jelas disebutkan dalam pasal 5 bahwa ruang lingkup berlakunya qanun untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh tanpa disebutkan beragama Islam, dan tidak ada pengecualian sama sekali bagi non muslim sekalipun,” ujar Tarmizi.

Menurut Kejati, dalam Pasal 94 ayat (1) juga disebutkan, jarimah atau pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri pada qanun ini, diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota.

Kemudian, pasal (2), jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jarimah yang tunduk kepada peradilan umum tidak menundukkan diri pada qanun ini, maka dia diperiksa dan diadili di Peradilan Umum. Pasal (3), jika perbuatan jarimah yang dilakukan oleh pelaku yang tunduk pada peradilan umum bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Ketentuan Pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka pelaku jarimah tetap diadili di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota.

Pada pengajian yang dimoderatori Dosen UIN Ar-Raniry, Hasan Basri M. Nur ini, Kajati menyebutkan, Aceh sebagai bagian dari NKRI diberi keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan dan kesamaan di depan hukum.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada 13 Desember 2013, Gubernur Aceh berdasarkan persetujuan DPRA telah membentuk Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Namun, meskipun telah sangat jelas aturan Qanun Hukum Jinayat berlaku untuk setiap orang di Aceh, dalam beberapa kesempatan, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sering melontarkan pernyataan bahwa aturan hukum syariat Islam tidak berlaku untuk non muslim. Pernyataan itu bertujuan untuk lebih meyakinkan investor asing masuk ke Aceh.

Lebih Kajati menambahkan, kejaksaan di Aceh tetap komit untuk menjalankan Qanun Hukum Jinayah, secara menyeluruh sesuai aturan yang ada.

“Kita tidak akan pandang buku dalam penegakan hukum syariat Islam. Itu, sudah komitmen kejaksaan di Aceh, bagi non muslim yang melanggar qanun,” terangnya.

Pihaknya, juga akan segera berkoordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum syariat lain seperti Wilayatul Hisbah (WH), hakim Mahkamah Syar’iyah, kepolisian, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan juga Dinas Syariat Islam Aceh, agar implementasi qanun tidak terkendala.

“Jaksa harus pahami juga aturan mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan dalam qanun ini. Karena berbeda dengan KUHAP. Kita juga berharap agar revisi UU Kejaksaan nanti juga bisa untuk mengadopsi ketentuan hukum lokal seperti di Aceh,” terang Kajati yang juga putra asli Aceh kelahiran Kembang Tanjong, Pidie ini.

Tarmizi yang baru dua bulan menjabat Kajati Aceh ini mengungkapkan, sejak 2007 hingga Januari 2014, kejaksaan se-Aceh telah menangani 144 SPDP perkara pelanggaran syariat Islam, pemberkasan 130 kasus, P-21 sebanyak 111 kasus, Tahap II 98 kasus, dilimpahkan ke pengadilan 87 kasus, tuntutan 21 kasus, putus 24 kasus, eksekusi cambuk 11 kasus dan upaya hukum 7 kasus.

“Peran dan kewenangan kejaksaan dalam Qanun Hukum Jinayat ini, mulai dari menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik, membuat surat dakwaan melimpahkan perkara ke Mahkamah Syar’iyah, penuntutan dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim mahkamah,” terangnya.

Menyangkut usulan pembentukan jaksa khusus syariah di Aceh untuk menangani perkara-perkara pelanggaran syariat Islam, Kajati menyatakan, bisa saja itu dibentuk atau perlu diklat singkat untuk jaksa syariah.

“Sepanjang jaksa khusus syariah dimungkinkan bisa saja. Kita akan berkoordinasi dulu dengan DSI Aceh. Juga akan kita sampaikan kepada atasan di Kejaksaan Agung, bahwa di Aceh perlu ada jaksa khusus syariah,” katanya.

Sementara Anggota Komisi III DPR-RI, M. Nasir Djamil yang juga turut memberikan pendapatnya pada pengajian tersebut menyatakan, hukum dibentuk termasuk Qanun Hukum Jinayah bertujuan untuk melindungi dan mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat.

“Ada 4 syarat aplikatif dalam penerapan hukum. Pertama, pasal harus memiliki kepastian hukum, kedua, kredibilitas lembaga hukum, ketiga integitas aparat penegak hukum dan budaya hukum di tengah-tengah masyarakat. Itu semua akan mempengaruhi penegakan hukum,” katanya.

Karenanya, kepastian dan kejelasan hukum dalam Qanun Hukum Jinayah harus benar-benar dijalankan, seperti isi pasal 5 bahwa siapapun yang berada di Aceh, bisa dikenai hukum jinayah sesuai qanun, tanpa memandang agama dan warga negara.

Menyangkut pembentukan jaksa syariah di Aceh, Nasir Djamil menyatakan, hal itu memang memungkinkan jika pelanggaran syariat Islam dan kemaksiatan sudah semakin parah, seperti pembentukan lembaga KPK karena korupsi yang makin parah. “Kedepan, pembentukan jaksa syariah ini bisa dipertimbangkan oleh pimpinan kejaksaan,” terangnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads