PECAPP: Parlemen Aceh Gagal Fungsi

Kinerja Parlemen Aceh selama dinilai masih rendah dalam menjalankan tiga fungsinya; legislasi, anggaran dan pengawasan. Hal itu mencuat dalam hasil analisis dan diskusi publik yang dilakukan oleh Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Diskusi bertema ‘Menakar Belanja Parlemen dan Kebijakan Belanja Publik’.

Team Leader PECAPP Syukriy Abdullah memaparkan Aceh memiliki sumber daya keuangan yang cukup besar untuk 20 tahun sejak 2008, dengan status otonomi khusus (Otsus). Dari kajian PECAPP, total dana yang diterima Aceh (Otsus dan reguler) sampai 2027 nanti diperkirakan mencapai Rp 650 triliun.

Kendati uang banyak, Aceh masih bermasalah dengan pembangunan yang stagnan di berbagai bidang. IPM Aceh masih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional, tingkat kelulusan SMA yang rendah padahal belanja pendidikan tertinggi keempat di Indonesia. “Juga pembangunan infrastruktur belum dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat,” katanya.

Analisis PECAPP, parlemen Aceh ikut menikmati besarnya anggaran Aceh. Pada tahun 2014, angaran yang dikucurkan untuk untuk mendukung kegiatan-kegiatan DPRA sebesar Rp 154 miliar. Dana itu mendapat kenaikan luar biasa dibandingkan tahun 2000 sampai 2002, yang hanya Rp 2 miliar – 5 miliar. “Parlemen ikut bertanggung jawab terhadap ketimpangan pembangunan di Aceh.”

Kinerja parlemen dapat diukur dari produksi qanun yang merupakan kebijakan dalam menentukan arah pembangunan. Selama peride berjalan (2009-2014), qanun belum menjadi prioritas DPRA. Sampai saat ini, parlemen Aceh hanya mampu memproduksi 47 qanun (35 qanun pemerintahan, 12 qanun publik). Padahal pada periode 1999 – 2004, parlemen Aceh melahirkan 107 qanun (71 qanun pemerintahan, 36 qanun publik).

Kapasitas parlemen juga diukur dari kekeliruan penafsiran kebutuhan masyarakat. Misalnya dalam pembangunan sekolah, masih berorientasi pada fisik, bukan mutu. Padahal ruang kelas telah memadai sejak 2010 di Aceh. Proyek fisik lainnya juga masih menjadi favorit, seperti pembangunan sarana kesehatan, padahal program-program pencegahan penyakit masih sangat diperlukan di Aceh.

Syukriy menilai, kekeliruan pemetaan kebutuhan pembagunan disebabkan oleh perencanaan anggaran yang tidak sesuai data. Misalnya sebagian jalan di wilayah barat selatan Aceh dalam kondisi rusak, namun tidak menjadi prioritas anggaran.

Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Samsul Rizal mengatakan besarnya sumber daya fiskal belum dapat diterjemahkan kepada keluaran (outcome) pembangunan. “Pemerintah (eksekutif dan legislatif) memiliki kapasitas terbatas dalam perencanaan pembangunan yang tepat berdasarkan data dan analisis yang tepat. Cenderung bersifat politis,” ujarnya

Anggota dewan haruslah memiliki kemampuan maupun tenaga ahli dalam membantu pekerjaannya, sebagai contoh untuk melihat perencanaan yang diajukan oleh eksekutif. Dalam hal ini Unsyiah dapat menjembatani kebutuhan tersebut dalam kerangka yang lebih formal. “Ada permintaan ke lembaga.”

Dia mengharapkan dalam menjalankan fungsinya, para anggota dewan dapat lebih pro rakyat dan mengalokasikan dana lebih banyak untuk kemakmuran rakyat Aceh.

Sementara itu, anggota DPRA, Jamaluddin Muku mengatakan masukan dalam diskusi akan sangat membantu dalam meningkatkan kinerja parlemen ke depan. Pihaknya bersama pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pembangunan sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads