Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengawal pembentukan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh hingga dapat segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh ditahun 2013.
Destika mengingatkan bahwa ketika proses pembentukan Qanun KKR Aceh terjadi, maka juga tidak boleh lupa tentang keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK), sebagaimana Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang telah dibentuk oleh Undang-Undang Nasional (UU No. 13/2006).
“Jadi, proses pengawalan ini harus benar-benar dilakukan oleh segenap lapisan elemen masyarakat, mengingat banyaknya peristiwa dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) khususnya yang terjadi di Aceh hingga kini belum menemui titik terang pengungkapannya”ujarnya.
Menurutnya hal itu bertujuan agar hak korban dapat terpenuhi dan pemerintah lebih mempunyai komitmen untuk mewujudkannya, terlebih melihat kecenderungannya secara umum, dalam penegakan hukum di Indonesia aspek perlindungan bagi saksi dan korban sendiri belum optimal dilaksanakan.
Akibat dari tidak dilakukannya perlindungan secara khusus bagi saksi dan korban memiliki konsekwensi seperti tidak terungkapnya suatu kejahatan sehingga pelaku dapat saja melakukan tindakan teror, ancaman/intimidasi bagi saksi dan korban, atau pihak lain yang berkepentingan atas suatu kasus kejahatan yang sedang diproses.
“Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban jelas menunjukkan respon positif dari negara dalam melihat kondisi penegakan hukum yang masih minim dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan korban, maka dengan sendirinya juga pasal dalam Qanun KKR juga memerlukan pengaturan yang jelas tentang kedudukan Saksi dan Korban”lanjutnya lagi