Kualitas SDM Buruk, Perencanaan Aceh Lemah

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perencana di Aceh menjadi salah satu penyebab terjadinya distorsi (penyimpangan) perencanaan anggaran untuk pembangunan yang lebih baik. Sumber fiskal yang besar di Aceh belum diimbangi dengan percepatan pembangunan.

Demikian dikemukakan oleh Peneliti Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Renaldi Syafriansyah, dalam diskusi Analisa Belanja Publik Aceh 2012 di 3 in 1 cafe, Banda Aceh, Rabu 26 Juni 2013. Diskusi dihadiri oleh anggota legislatif, pejabat pemerintahan Aceh, LSM, akademisi dan mahasiswa.

Dalam paparan analisisnya yang bertema ‘Fiskal Berlimpah dan Distorsi Perencanaan’, Renaldi mengungkapkan salah satu penyebab distorsi perencanaan anggaran adalah kualitas SDM perencana yang lemah. “Sehingga perencanaan pembangunan tidak mempunyai analisis kuat,” ujarnya.

Disebutkan, sejak Otsus diluncurkan pada 2008, Aceh akan menerima lebih dari Rp 100 triliun dana sampai 2014, dan akan terus bertambah. Dana yang besar tersebut, dari analisis PECAPP terlihat pemerintah Aceh belum mampu mengimbanginya antara fiskal dalam jumlah besar dengan akselerasi pembangunan yang tepat berdasarkan kebutuhan masyarakat. Perencanaan juga diniai belum berhasil menterjemahkan visi dan misi pemerintahan Aceh sendiri terhadap kebijakan belanja publik.

Salah satu indikatornya menurut Renaldi, keuangan Aceh masih sangat tergantung kepada pusat. Pendapatan Asli daerah (PAD) dan potensi penerimaan lainnya stagnan bahkan menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, penerimaan riil dari PAD Aceh, sebesar Rp 1,2 triliun. Angka itu menurun menjadi sekitar Rp 1 triliun pada tahun 2012 lalu.

Akibat distorsi perencanaan, banyak pembangunan di Aceh yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pembangunan infrastruktur antar kabupaten/kota yang belum melihat pada kebutuhan prioritas, seperti di wilayah barat selatan dan tengah Aceh yang umumnya mempunyai sarana jalan dalam kondisi buruk, tapi mendapat kucuran dana sedikit.

Juga dalam masalah pendidikan, masih mementingkan pembangunan infrastuktur tapi meninggalkan pembangunan mutu. “Ini mengakibatkan Aceh menjadi daerah dengan tingkat kelulusan UN terendah di Indonesia,” ujar Renaldi.

Berdasarkan laporan Analisa Belanja Publik Aceh 2012, PECAPP merekomendasikan untuk peningkatan kualitas SDM perencana serta ketersediaan data untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan. Selanjutnya juga, belanja publik ke dapan haruslah didasarkan kepada analisis yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tantangan, untuk meminimalisir distorsi. “Juga harus ada komitmen politik yang kuat antara legislatif dan eksekutif,” kata Renaldi.

Sementara itu, Kepala Sub Bidang Investasi pada Bappeda Aceh, Martunis mengakui kapasitas aparatur pemerintah yang belum optimal sebagai salah satu tantangan pemerintah dalam menyusun perencanaan yang baik. “Juga adanya alokasi belanja yang tidak mengikuti perencanaan,” ujarnya.

Tahun ini pihaknya akan terus melakukan pembenahan sistem untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut. Salah satunya dengan membuat perencanaan sistem online dalam perencanaan, penganggaran dan pengawasan. “Sebagai bagian dari transparansi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan fiskal di Aceh,” kata Martunis.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Yunus Ilyas menilai perencanaan pembangunan masih bermasalah dan berubah-ubah. Dia masih yakin perencanaan pembangunan yang baik haruslah melalui Musrembang dari tingkat bawah. Tetapi itupun harus dikawal oleh semua pihak sejak awal, agar tetap bertahan dalam pelaksanaan pembangunan. “Sehingga apa yang direncanakan dari awal, tidak diobrak-abrik oleh pengambil kebijakan selanjutnya,” ujarnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads