Qanun nomor 12, 13, 14 tahun 2003 masih menjadi primadona pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh hingga kini.
Padahal ketiga qanun tersebut masih pada tahapan proses yang belum final untuk dianggap menjadi qanun ideal.
Hal itu dikatakan mantan kepala dinas syariat islam provinsi Aceh Alyasa’ Abubakar pada diskusi etika pemberitaan syariat islam yang diselenggaran oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Kamis (30/05/2013).
Alyasa’ mengatakan ketiga qanun tersebut dibuat pada tahun 2003, dengan harapan pada tahun 2006 sudah ada revisi atau penyempurnaan, namun kondisi politik Aceh saat itu membuat revisi ketiga qanun tersebut terhambat.
Diakui oleh alyasa’ proses revisi qanun-qanun itu sangat lambat, ia mendorong agar ketiga qanun itu segera dilakukan penyempurnaan serta membahas dan mengesahkan kembali qanun jinayat dan hokum acara jinayat.
“seharusnya sudah ada revisi namun karena pada saat itu adanya pembahasan undang-undang pemerintah aceh dan MoU membuat ini tertunda, dan baru dibicarakan kemabli pada 2009, namun hingga kini belum ada kemajuan apa-apa”lanjutnya.
Sementara itu Qanun nomor 12 mengatur tentang khamar atau minuman keras, qanun nomor 13 mengatur tentang maisir atau judi dan qanun nomor 14 mengatur soal khalwat atau mesum.
Disisi lain Alyasa’ mengakui pemberitaan tentang pelaksanaan syariat islam saat ini masih focus pada tiga qanun tersebut, padahal pemerintah juga sudah melaksanakan pelaksanaan syariat islam pada bidang-bidang lain, seperti pengelolaan zakat dan infak, dan perlindungan terhadap anak yatim.
Sedangkan bidang pendidikan, social kemasyarakatan, tata ruang dan hal-hal lainnya masih belum tersentuh.