Isu Perempuan Tidak Boleh Memimpin Masih Dipakai pada Pemilu 2019

Dinas Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh menyelenggarakan fleksikan partisipasi politik perempuan pada Pemilihan Legislatif (Pileg)Aceh 2019, di Banda Aceh.

“Pemilu 2019 sudah selesai, tentunya banyak catatan penting bisa menjadi pembelajaran kedepannya, untuk itu penting merefleksikan pelaksanaan Pileg 2019 di Aceh, menyepakati rencana aksi kolaboratif untuk mendukung keterpilihan perempuan pada Pemilu 2024 mendatang,” jelas direktur Flower Aceh Riswati, dalam pembukaan acara Refleksi Partisipasi Politik Perempuan Pada Pemilu Legislatif di Aceh Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Flower Aceh bersama Kaukus Perempuan Parlemen Aceh (KPPA), Balai Syura, Kaukus Perempuan Politik (KPPI) Aceh serta Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Aceh.

Nursiti SH, M.Hum, Akademisi Unsyiah dan fasilitator kegiatan menegaskan meskipun perjuangan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan sudah berlangsung dalam beberapa kali pemilu, dan organisasi yang fokus untuk mendorong partisipasi politik perempuan semakin bertambah seperti, KPPA, KPPI, RPPA, Sayap Perempuan Parpol, LSM, serta perundang-undangan yang mendukung partisipasi politik perempuan semakin baik, angka keterpilihan perempuan di Pemilu Legislatif 2019 justru menurun.

Program Manager International Republican Institute (IRI), Delima Seragih mengatakan trend 2019 partisiapsi perempuan pada pemilu legislatif secara nasional terbilang bagus, numun berbeda di Aceh.

Delima menyebutkan pada masa pra-pemilu, caleg perempuan terhambat dengan persolaan internal partai seperti pada penetuan nomor urut, daerah pemilihan, jumlah kontribusi yang disetorkan ke partai,logistik kampanyedan koordinasi antar caleg dalam satu partai. Sementara pada saat pelaksanan, banyak masalah yang ditemukan terkait kapasitas penyelenggara, praktik politik uang yang banyak terjadi, namun tidak bisa dibuktikan karena orang tidak mau menjadi saksi dan membawa barang bukti, serta kurangnya edukasi pemilih, apalagi pada pemilu 2019 dilakukan secara serentak dengan surat suara tanpa foto caleg yang membuat bingung pemilih.

Siti Maisarah dari organisasi Puan Anisa menyoroti tentang stigma perempuan tidak boleh memimpin masih melekat kuat sebagai hambatan bagi caleg perempuam.

“Ada banyak isu beredar kalau perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dan tidak ada yang mencounternya. Saya ada banyak menemukan di hari H pemilu perempuan yang bertanya apakah masih boleh memilih perempuan sebagai caleg atau pemimpin,” jelas Maisarah.

Dia mengatakan seharusnya ada penegasan setidaknya dari pihak penyelenggara bahwa perempuan secara aturan berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu dan berhak dipilih. Selain itu dia berharap pihak penyelenggara juga memberikan counter argument terhadap isu tersebut dengan memberikan pernyataan dari tokoh adat dan tokoh agama.

Sepakat dengan persoalan yang menghalangi keterpilihan perempuan juga karena faktor minimnya dukungan dari partai pengusung, Riswati, direktur Flower Aceh mengatakan parpol punya andil besar dalam kerterpilihan caleg perempuan.

Pada akhir kegiatan, anggota Kaukus Perempuan Parlemen Aceh (KPPA), Syarifah Munirah yang juga anggota DPRK Banda Aceh mengingatkan akan pentingnya membangun hubungan dan komunikasi intensif dengan konstituen, baik bagi caleg terpilih ataupun tidak. Penting pula menginformasikan kerja-kerja yang sedang diperjuangkan oleh anggota legislatif agar diketahui,sehingga lebih dekat dengan masyarakat.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads