DPRA: Masih Ada Butir Damai Belum Diimplementasikan

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk Muharuddin mengatakan masih ada butir-butir perjanjian damai RI-GAM belum sepenuh diimplementasikan.

“Perjalanan damai Aceh sudah berlangsung 13 tahun lebih, namun masih ada butir-butir nota kesepakatan damai yang belum diimplementasikan sepenuhnya,” ungkap Tgk Muharuddin di Banda Aceh, Kamis.

Pernyataan tersebut dikemukakan Tgk Muharuddin dalam pertemuan dengan penasihat senior Crisis Management Initiative (CMI) Kantor Presiden Martti Ahtisaari Mayjen (Pur) Jaakko Oksanen.

Pertemuan turut dihadiri Minna Kukkonen yang juga penasihat CMI Kantor Presiden Martti Ahtisaari serta sejumlah anggota DPR Aceh dan Anggota DPR kabupaten/kota di Aceh.

Tgk Muharuddin menyebutkan, butir-butir perdamaian yang belum sepenuhnya diimplementasikan seperti penggunaan bendera dan lambang Aceh. Kemudian juga komisi kebenaran rekonsiliasi. Serta tapal batas wilayah.

Selain itu, kewenangan pemerintahan Aceh juga masih dibatasi. Padahal, dalam butir-butir perdamaian atau dikenal dengan MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh diberi kewenangan mengatur diri sendiri atau “self goverment”.

“Pemerintahan sendiri tersebut diterjemahkan dalam bentuk otonomi khusus. Padahal, Aceh tidak lagi menuntut merdeka. Dan Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI,” sebut Tgk Muharuddin.

Nota kesepakatan damai Aceh ditandatangani oleh GAM dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 Kemudian, diimplementasikan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh atau dikenal dengan sebutan UUPA

Namun, kata Tgk Muharuddin, masih banyak kementerian dan lembaga lainnya di pemerintah pusat belum memahami kewenangan Aceh yang diatur oleh UUPA. Buktinya, banyak aturan dikeluarkan bertentangan dengan UUPA.

“Seperti undang-undang pemilu beberapa waktu lalu. Ada pasal UU Pemilu menganulir pasal dalam UUPA. Setelah digugat ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya pasal UU Pemilu yang menganulir UUPA dibatalkan,” kata Tgk Muharuddin.

Oleh karena itu, Tgk Muharuddin mengharapkan CMI memediasi Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat membicarakan butir-butir perjanjian damai yang belum sepenuhnya diimplementasikan. Termasuk membicarakan hal-hal yang menghambat perdamaian Aceh.

“Kami mengharapkan CMI membantu memediasi persoalan perdamaian Aceh. Sebab, CMI sejak awal sudah terlibat dalam proses perdamaian Aceh,” kata Tgk Muharuddin.

Sementara itu, Mayjen (pur) Jaakko Oksanen mengatakan, kunjungannya ke parlemen Aceh tersebut untuk mencari masukan terkait perjalanan perdamaian Aceh serta kendala yang dihadapi.

“Kami ke Aceh juga untuk melihat langsung sejauh mana perkembangan perdamaian Aceh. Dari yang kami lihat, perdamaian Aceh sudah menghasilkan pembangunan yang luar biasa,” kata dia.

Ia mengatakan, damai Aceh sudah berjalan dalam proses yang panjang dan bukan karena keajaiban. Oleh karena itu, semua pihak harus tetap berkomitmen menjaga perdamaian yang sudah berlangsung 13 tahun tersebut.

“Kami berharap seluruh elemen masyarakat Aceh termasuk di DPRA tetap menjaga perdamaian. Memang ada poin yang belum terimplementasi, namun yang lebih penting bagaimana komitmen para pihak untuk menjaga keberlanjutan perdamaian ini,” kata Jaakko Oksanen. Antara

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads