Tanah Gayo di Mata Duta Wisata Aceh

SEMBARI menunggu jus jeruk pesanannya, gadis asal Aceh Besar itu terus saja berbincang dengan seorang pemuda di hadapannya. Mereka duduk di kursi sofa warna ungu pada sebuah ruangan bebas asap rokok.

Keduanya merupakan pasangan Duta Wisata Aceh untuk tahun 2018, Irna Maulisa dan Rifky. Malam itu, Senin 17 September 2018, mereka tengah menikmati masa istirahat dari kesibukan siang harinya bersama teman-teman di sebuah coffe shop di tengah kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.

Mereka berada di kota dingin dalam rangka mengikuti rangkaian even Gayo Alas Mountain Internasional (GAMI) Festival, sebuah even promosi wisata yang digelar Pemerintah Aceh dan pemerintah empat kabupaten di dataran tinggi Gayo: Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara dan Gayo Lues sejak 14 September hingga 24 November 2018 di Takengon.

“Kami di sini (Takengon) sudah sejak hari pembukaan GAMI Festival 2018. Sudah hampir sepekan” kata Lisa panggilan akrab Lina Maulisa, mengawali percakapan.

Gadis kelahiran Montasik, Aceh Besar 13 Maret 1997 itu, mengaku gakum dengan keindahan alam dataran tinggi Gayo. Baik seni, budaya, hasil alam serta lokasi wisata yang dimiliki. Tanah Gayo benar – benar aset masa depan Aceh bidang pertanian dan wisata.

Selain dengan kopinya yang sudah mendunia, danau Lut Tawar, Pantan Terong dan Burni Terong serta lokasi arung jeram yang dimiliki sungguh benar – benar menakjubkan.

“Maka sudah tidak salah lagi jika pemerintah mengadakan sejumlah even promosi wisata tingkat internasional di tanah Gayo seperti GAMI Festival tahun ini,” ujar Lisa memuja.

Apa yang dijalankan pemerintah hari ini, katanya, sejalan dengan visi – misinya bersama Rifky, pasangan prianya ketika mengikuti seleksi duta wisata Aceh. Salah satunya, membuka mata dunia menuju Aceh lewat promosi sejumlah destinasi yang dimiliki Aceh.

Diakuinya, Aceh memang memiliki potensi wisata yang terbilang komplit. Mulai dari wisata bahari, alam, sejarah hingga wisata arkeologi. Setiap daerah di Aceh, punya keunikan tersendiri soal wisata.

Menurutnya, dari banyaknya potensi wisata di Aceh menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat setempat dalam hal ini pelayanan. Bagaimana kesiapan warga saat wisatawan datang hingga sadar akan pengembangan potensi destinasi di masing-masing daerahnya.

“Ini juga tantangan bagi masyarakat. Tentunya kesiapan masyarakat kita akan diuji untuk menyambut wisatawan,” timpal Rifky yang lahir di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar 21 tahun lalu, pasangan pria Lisa sebagai Duta Wisata Aceh.

Rifky sendiri mengikuti duta wisata dengan harapan dapat merubah mainset kalangan muda akan sadar wisata. Bagaimana menyambut jika ada wisatawan asing yang hadir di lingkungan sendiri dan bagaimana mengeksplor, merawat dan menjaga kebersihan lokasi – lokasi wisata yang dimiliki daerahnya masing – masing.

“Saya dan Lisa mengawali karir duta wisata untuk Aceh Besar saja. Waktu itu tahun 2017, kami didapuk sebagai duta wisata Aceh Besar, sebelum kami menuju tingkat provinsi,” katanya.

Bahkan waktu itu, Rifky dan Lisa hanya ingin mengekspol destinasi wisata yang ada di desa dan kecamatan dimana mereka dilahirkan.

“Saya dulu hanya tertuju pada wisata di kampong saya Montasik dan Aceh Besar,” ujar Lisa menimpali keterangan Rifky.

“Iya saya juga begitu, bagaimana masyarakat Darul Imarah dan Aceh Besar, terutama kawula muda menjadi sadar wisata,” timpal Lisa mengamini keterangan Riefky.

Kini Lisa dan Rifky sudah didapuk sebagai duta wisata Aceh, maka promosi wisata tentu harus dilakukan menyeluruh ke seaantero Aceh. Bagaimana mereka dapat menjalankan amanat (duta ) itu untuk seluruh masyarakat Aceh dan untuk semua destinasi wisata sehingga dapat mengundang wisatawan manca negara.

Namun semua itu, tak mungkin dapat dijalankan hanya oleh mereka berdua selaku duta wisata. Pemerintah dan lapisan masyarakat harus sama – sama ikut berperan serta. Pemeran utama untuk promosi wisata adalah pemerintah selaku pengambil kebijakan.

Sebab, ada tiga sektor utama sebagai pendukung wisata yaitu, aksesibilitas (akses), aminitas (pelayanan)dan atraksi (daya jual). Tanpa adanya ketiga unsur, wisatawan akan malas datang ke suatu daerah meskipun daerah itu kaya dengan berbagai destinasi wisatanya.

Namun demikian menurut kedua pasangan duta wisata Aceh tersebut, untuk wisata Aceh tinggal lagi memajukan dua sektor yakni aksesibilitas dan aminitas. “Sementara untuk atraksi (daya jual), Aceh sudah tidak kalah lagi dengan derah – daerah lainnya di Indonesia,” kata keduanya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads