Tolak Kuota Bakal Caleg 100 Persen, Partai Aceh Minta KPU Hormati Perjanjian Damai Aceh

Partai Aceh melihat konflik regulasi sepertinya akan terulang lagi menjelang Pemilu Legislatif 2019. Pasalnya, dua hari yang lalu, KPU RI mengeluarkan surat yang menyebutkan bahwa kuota Caleg di Aceh sebanyak 100 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan dan berlaku untuk semua Partai Politik peserta Pemilu di Aceh. Rujukannya adalah pasal 244 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Menanggapi surat KPU tersebut, Partai Aceh secara tegas menolaknya, hal ini disampaikan Jurubicara Partai Aceh (PA) Syardani M. Syarif atau akrab disapa Teungku Jamaica kepada media, Selasa (26/6/2018).

Padahal kata dia, dalam UUPA disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh diselenggarakan berdasarkan Qanun Aceh, maka kemudian Aceh membuat Qanun Nomor 3 Tahun 2008, dan dalam Pasal 17 Qanun tersebut menyebutkan bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan”.

“Jadi, Partai Aceh tegas menolak kuota Caleg di Aceh sebanyak 100 persen,” ujar Teungku Jamaica.

Sementara itu Sekjen Partai Aceh Kamaruddin Abubakar atau akrab disapa Abu Razak menambahkan bahwa semestinya KPU RI bisa melihat kekhususan Aceh yang sudah berjalan selama ini, dimana setiap Partai Politik Lokal di Aceh harus diberikan kekhususan sebagaimana diatur di dalam UUPA dan Qanun Penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

Persoalan ini kata Abu Razak mengulangi kejadian serupa tahun 2013, menjelang Pemilu Legislatif 2014, meskipun setelah melalui lobi-lobi saat itu, KPU Pusat akhirnya setuju bahwa Caleg Aceh 120 persen dari jumlah kursi.

“Kenapa hal yang sudah selesai ini kemudian diulang lagi? Usulan Caleg 120 persen itu hanya berlaku untuk Parpol di Aceh, tidak ada di tempat lain. Inilah salah satu kekhususan dan keistimewaan Aceh pasca damai RI dengan GAM yang melahirkan UUPA. Seharusnya ini dijadikan sebagai kebinnekaan politik nasional yang perlu dijaga demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika semua Undang-Undang Nasional diberlakukan untuk Aceh, lalu apa gunanya UUPA yang merupakan turunan butir-butir MoU Helsinki?,” Abu Razak mempertanyakan.

Abu berharap, sejatinya KPU dapat menghormati Perjanjian Damai yang telah ditandangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005. Perjanjian itu tidak dicapai begitu saja, tetapi lewat perjuangan panjang yang mengorbankan banyak nyawa keluarga kami rakyat Aceh.

“Sehubungan dengan perkembangan ini, kami meminta KPU segera membatalkan surat edaran KPU nomor: 605/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018 tanggal 25 Juni 2018 perihal Syarat calon anggota DPR Aceh dan DPR Kab/kota di Aceh,” pinta Abu Razak.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads