Penghargaan yang Diterima Aceh Bertolak-belakang dengan Fakta

Forum Anti-Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA) menyoroti dan mempertanyakan penghargaan yang diraih Aceh sebagai provinsi terbaik ketiga nasional atas keberhasilan menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta konsen dalam bidang kesehatan serta pendidikan.

Pasalnya, penghargaan untuk kategori laju pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) 2016 itu dinilai bertolak-belakang dengan fakta kemiskinan dan pengangguran di Aceh saat ini.

“Untuk Aceh, kami tidak melihat ada grafik kemiskinan yang menurun. Apalagi untuk pengangguran, malah semakin membengkak. Bahkan kalau diungkap, data terakhir yang dirilis BPS di tahun 2015, kemiskinan Aceh justeru menembus angka 17 persen,” ujar Koordinator Badan Pekerja Indra P Keumala, Kamis (21/4/2016).

Indra menjelaskan, berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran di Aceh pada Agustus 2015 mencapai 217 ribu orang. Meningkat sebesar 26 ribu orang dari jumlah 191 ribu pada periode yang sama di tahun 2014. Sedangkan kemiskinan, BPS juga mencatat 859 ribu orang atau sebesar 17,11 persen warga Aceh hidup di bawah garis kemiskinan.

“Urutan kemiskinan Aceh berada pada peringkat ketujuh secara nasional. Sementara untuk Sumatera, Aceh duduk di posisi kedua setelah Bengkulu. Fakta itu sekaligus menegaskan, bahwa prestasi Aceh ya cuma melahirkan warga miskin dan sukses menumpuk pengangguran,” tegasnya.

Menurut Indra, penghargaan yang diberikan kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (20/4/2016)itu, berbanding terbalik dengan realita yang saat ini terjadi di Aceh.

Pihaknya juga mempertanyakan dasar yang digunakan kementerian sehingga memberikan labelisasi prestasi terhadap suatu daerah. “Dasarnya darimana? Kalau berdasarkan fakta, maka kami pastikan Aceh belum layak dikategorikan berhasil. Sementara untuk pelayanan kesehatan, warga di Aceh justeru baru saja menyaksikan kasus kematian pasien akibat kualitas pelayanan  yang buruk,” tandas Indra.

Untuk itu, mantan koordinator Aceh Parliament watch ini berharap pemerintah segera mengkaji ulang mekanisme pemberian penghargaan kepada  masing-masing daerah di Indonesia. Sehingga, penghargaan yang diberikan mencerminkan kinerja dan prestasi sebenarnya.

Indra juga menyentil pemberian opini yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proses audit keuangan suatu daerah. Menurut Indra, predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK juga tidak mencerminkan kualitas manajemen pengelolaan keuangan daerah yang diaudit.

“BPK juga harus mempertanggungjawabkan terkait opini WTP. Faktanya banyak daerah yang diberikan opini itu justeru pejabatnya berakhir di penjara. Jadi intinya semua harus diperbaiki. Mudah-mudahan pemerintahan Jokowi dapat melihat dan mencermati ini kedepannya,” demikian koordinator FAKTA.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads